Minggu, 27 Juni 2010

Andragogy

Mengenal Andragogy

Latar Balakang
Semakin lama bumi ini semakin sempit dan kecil untuk didiami manusia. Apa yang terjadi pada suatu sisi bumi akan segera diketahui dan bahkan dapat dirasakan oleh bagian bumi yang lain pada saat yang sama. Kemajuan teknologi memiliki andil besar dalam menciptakan situasi dan keadaan bumi tersebut. Kecanggihan teknologi telekomunikasi menjadikan setiap orang dapat saling berhubungan walaupun tidak pindah dari tempat duduknya, teknologi transportasi memungkinkan seseorang bergerak dari satu tempat ke tempat lain di bagian bumi dengan demikian cepatnya, yang dulu tidak pernah dibayangkan atau diramalkan akan terjadi. Keadaan yang sedemikian itu menjadikan seluruh permukaan bumi selalu terpengaruh oleh bagian bumi yang lain. Media cetak dan elektronika dengan sangat cepat mampu menyebarkan informasi keseluruh permukaan bumi. Karena perkembangan teknologi itu, maka semua lini kehidupan manusia mengalami perkembangan dan perubahan; sosial, politik, budaya, nilai dan lain sebagainya ikut terpengaruh dan berubah. Akibat yang dapat dirasakan adalah seseorang akan mengalami kesulitan dalam mengejar perubahan yang terjadi di berbagai sektor kehidupan, ilmu dan teknologi, sehingga masa belajar sampai umur 20 tahun dirasa tidak cukup. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin tahun semakin cepat, setelah tahun 2000 sering terjadi penemuan baru dalam berbagai bidang ilmu. Dapat dibandingkan lama waktu yang diperlukan untuk mencapai suatu penemuan dalam rentang masa sejak tahun 1700 s/d 1960 semakin lama semakin singkat waktu yang dibutuhkan. Photography memerlukan 112 tahun (1727-1839), generator listrik 65 tahun (1821-1886), telephone 56 tahun (1820-1876), radio 35 tahun (1867-1902), tabung hampa udara 33 tahun (1884-1915), tabung sinar X 18 tahun (1895-1913), radar 15 tahun (1925-1940), TV 12 tahun (1922-1934), reactor nuklir 10 tahun (1932-1942), bom atom 6 tahun (1939-1045), transistor 3 tahun (1948-1951) dan solar battery 2 tahun (1953-1955)

Perubahan Pendangan Tentang Pendidikan
Pada mulanya sebagian ahli pendidikan beranggapan, tujuan pendidikan didasarkan pada pengertian bahwa pendidikan adalah pengalihan pengetahuan dari satu generasi ke generasi beikutnya. Asumsi ini memiliki pengertian tersirat ; (1) Jumlah pengetahuan itu tidak terlalu banyak sehingga sistem pendidikan mampu mengelola pengetahuan secara keseluruhan dan (2) kecepatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak terlalu cepat sehingga memungkinkan untuk menyimpan ilmu pengetahuan dalam kemasan tertentu dan menyampaikannya sebelum pengetahuan itu sendiri berubah.
Kedua keadaan tersebut saat ini sudah tidak belaku lagi. Kemajuan ilmu pengetahuan yang terjadi pada akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat cepat di masyarakat, sehingga tidak memungkinkan teori pengalihan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikut dapat berjalan dengan baik melalui sistem pendidikan. Dengan memperpanjang masa wajib belajar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dengan memasukkan berbagai pengetahuan dan memperluas cakupan kurikulum pada pendidikan dasar, rupanya belum mampu menjadikan anak didik sanggup mengejar perubahan yang ada. Hal ini akan semakin rumit apabila pengertian pendidikan adalah pengalihan pengetahuan sebagaimana yang selama ini difahami. Barangkali tujuan pendidikan tersebut diubah dari sekedar “mengalihkan pengetahuan” menjadi “menumbuhkan keinginan dan dorongan dalam diri peserta didik untuk melakukan proses pembelajaran sepanjang hidupnya terhadap apa saja yang dibutuhkan untuk diketahui”. Apabila konsep ini diterima maka sedikitnya akan ada dua keberhasilan yang dapat dicapai. Pertama, pendidikan tidak lagi hanya diperuntukkan bagi mereka yang berada pada usia sekolah, kedua, tanggungjawab untuk mempersiapkan apa yang harus dipelajari bukan hanya berada di tangan guru tetapi porsi yang lebih besar berada di tangan peserta didik dan dengan demikian akan terjadi proses pendidikan seumur hidup.
Dalam keadaan yang sedemikian ini, andragogy dipandang tepat dan dapat menyelesaikan atau paling tidak mengurangi permasalahan itu. Andragogy dapat dijadikan alat bantu untuk mencapai kemajuan pribadi baik dalam pekerjaan, kemasyarakatan dan lain sebagainya. Di dalam ajaran Islam didapat banyak landasan dan konsep yang mengatakan bahwa pendidikan itu tidak bermula dan berhenti pada umur tertentu, tetapi pendidikan berlaku untuk seumur hidup tanpa berhenti “Carilah ilmu sejak dari ayunan hingga liang lahat”. Islam, sejak diturunkan telah memberikan solusi problem yang dihadapi manusia sepanjang masa dalam bentuk ajaran “Pendidikan Seumur Hidup”. Para ahli pendidikan kemudian baru pada abad 20 menawarkan konsep pendidikan orang dewasa “andragogy”dengan beberapa pertimbangan diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Hidup itu sendiri adalah pengalaman pendidikan. Semua kegiatan yang dilakukan manusia pada hakekatnya tidak lepas dari unsur dan proses belajar. Apa yang difikirkan tentang kegiatan masa silam, apa yang dilakukan saat sekarang, serta apa yang direncanakan untuk masa mendatang, tidak lepas dari proses belajar yang secara langsung dilakukannya. Apabila hal tersebut tidak dilihat sebagai proses pembelajaran maka pendidikan hanya memiliki pemahaman sempit yang terbatas kepada kegiatan sekolah saja. Belajar dari pengalaman ‘learning by doing’ merupakan sesuatu yang sangat penting bagi orang dewasa.

2. Pendidikan itu sendiri adalah proses berulang tanpa berhenti untuk mengatasi berbagai problem kehidupan secara individual maupun kelompok. Dalam kehidupan, seseorang tidak lepas dari tantangan untuk memecahkan problem, dan setiap problem itu dipecahkan, akan muncul lagi problem baru yang harus dihadapi. Pada saat itu seseorang dituntut untuk mempelajari bagaimana menyelesaikan masalah yang menghadangnya.

3. Proses belajar itu sendiri adalah pemahaman tentang bagaimana cara belajar (learn how to study). Orang dikatakan belajar dengan baik apabila ia mampu menentukan dengan tepat tentang bagaimana strategi yang diambil untuk memahami suatu fakta. Cara memahami ilmu eksakta tidak sama dengan cara yang digunakan dalam memahami ilmu sosial.

Sejarah Perkembangan Andragogy
Andragogy tergolong disiplin ilmu yang relatif baru. Istilah “andragogy” digunakan pertama kali oleh Alexander Kapp guru Sekolah Menengah Atas di Jerman pada tahun 1833, menulis buku berjudul “Platon’s Erziehungslehre” (Plato’s Educational Ideas) ia menjelaskan tentang pentingnya belajar seumur hidup. Istilah andragogy pernah diperdebatkan kemudian tidak digunakan lagi hingga muncul tulisan Rosenstock tahun 1921 yang mengatakan bahwa ‘pendidikan orang dewasa’ memerlukan guru, metode dan filosofi khusus yang disebut dengan andragogy.
Eduard Christian Lindeman keturunan imigran Jerman-Denmark lahir di Michigan USA 1885 dan meninggal pada tahun 1953 banyak mengemukakan konsep andragogy. Pada tahun 1926 Lindeman menulis “Meaning of Adult Education” mengatakan bahwa Andragogi atau ‘adult education’ adalah proses pendidikan yang tidak terbatas dengan kelas atau kurikulum formal. Andragogy cenderung mengatasi problem hidup harian bukan kemampuan yang ideal, andragogy dilaksanakann berdasar kondisi dan situasi bukan berdasar atas materi ajar. Kurikulum dibuat berdasarkan kebutuhan, kecenderungan dan pengalaman peserta didik. Menurut Lindeman belajar adalah belajar menghadapi hidup dan seluruh hidup adalah belajar maka pendidikan itu tidak pernah berhenti.
Tulisan Lindeman “Meaning of Adult Education” memberi inspirasi kepada Malcolm Shepherd Knowles (1913-1997) untuk menulis dan memperkenalkan istilah “andragogy” kedalam dunia literatur Amerika tahun 1968. Ia berusaha meletakkan dasar-dasar konsep andragogy dengan begitu jelas.
“Inspired by Lindeman (1926) and other early writers in adult education, Knowles introduced the term ‘Andragogy’ into American educational literature in 1968 (although the term has been traced back to 1833, in German literature). He defined andragogy as “the art and science of helping adults learn.” And originally, clearly differenciated it from pedagogy (the art and science of teaching children). Many years ago, Knowles saw pedagogy and andragogy as opposing approaches and wrote of “pedagogy versus andragogy.” He held that the pedagogical model gives the teacher full responsibility for all decisions about learning and places the learner in a dependent role, following teacher instructions. More recently, Knowles places pedagogy and andragogy on a continuum. The sub-title of his book, The Modern Practice of Adult Education (1980), was changed from “Pedagogy Versus Andragogy” to “From Pedagogy to Andragogy” in later editions.
Andragogy dapat difahami sebagai ilmu mendidik orang dewasa, sedangkan pedagogy berarti seni mendidik anak-anak. Andragogy berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari “aner” atau ‘andra’ berarti dewasa atau orang dewasa dan “ago” atau ‘agogos’ berarti memimpin atau membimbing, andragogy berarti “seni atau ilmu membimbing orang dewasa dalam belajar”. Sedangkan ‘paedagogy’ berasal dari bahasa Yunani ‘paid ‘ berarti anak-anak dan ‘agogos’ berarti memimpin. Pedagogy berarti ‘memimpin anak-anak’ atau dengan istilah lain disebut ‘suatu ilmu dan seni mengajar anak-anak’ dan secara umum dapat didefinisikan sebagai ‘ilmu dan seni mengajar’

Riwayat Hidup Knowles
Orang yang dianggap meletakkan dasar andragogy adalah Malcolm Shepherd Knowles ia dilahirkan di Montana dari ayah seorang peternak (veterinarian) sejak umur 4 tahun ia sering diajak ayahnya ke lahan peternakan. Sering berdiskusi dengan ayahnya tentang berbagai hal di antaranya; makna hidup, salah dan benar, agama, politik, kesuksesan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Dari ibunya ia banyak mengambil pelajaran tentang rasa kasih sayang, perhatian terhadap orang lain.
Knowles belajar di Harvard mangambil study filsafat, namun ia banyak dipengaruhi oleh kuliah Alfred North Whitehead tentang sastra, sejarah, etika dan hukum internasional. Ia menyelesaikan study di Harvard 1934, mendapat gelar MA pada tahun 1949 di University of Chicago. Ia banyak berkecimpung di bidang Adult Education; 1950 ia menjadi direktur Adult Education Association of the USA dan berkecimpung di dalamnya selama sembilan tahun, menyelenggarakan kurus-kursus sekitar ‘the andragogical model” di North Carolina State University. Sampai pensiun 1979 Knowles masih menjadi tempat rujukan untuk kegiatan andragogy. Buku karangannya yang menjadi sumber andragogi di antaranya adalah; Informal Adult Education (thesis MA) (1950), The Modern Practice of Adult Education (1970) The Adult Learners (1973), Self Directed Learning (1975)

Definisi Andragogy
Banyak definisi yang ditawarkan oleh para ahli tetapi seluruhnya berbeda antara yang satu dengan yang lain karena perbedaan sudut pandang yang berbeda, sebagaimana contoh berikut.
1. Adult education will be defined as that force which, in its ideal application, can bring about a maximum of re adjustment of attitude within a society to any new and changed situation in the shortest possible time and which helps to initiate change which evolves and imparts new skills and techniques required and made necessary by the change.
2. Adult Education is taken to mean form of study and other activities which are undertaken voluntarily by mature people (i.e over the age of 18 ) without direct regard to their vocational value. They are concerned rather which development of personal abilities and aptitudes and the encouragement of social, moral and intellectual responsibility in relation to local, national and world citizenship
3. Adult Education meaning any organised provision to help adults to learn whatever they wish to learn or need to learn .
4. Andragogy is the process of engaging adult learners in the structure of the learning experience.
5. Andragogy is the art and science of helping adults learn

Definisi pertama melihat dari sudut pandang adaptasi masyarakat terhadap hal-hal baru, definisi kedua melihat dari sudut peserta didik yang dengan suka rela mengikuti program pendidikan orang dewasa, sedang yang ketiga menekankan pada sudut pandang peran dan fungsi pendidik sebagai pembantu orang dewasa belajar, yang keempat menekankan dalam masalah proses dan yang ke lima menyoroti dari sudut pandang bahwa andragogi adalah seni.
Dari beberapa definisi itu dapat ditarik satu garis kesamaan bahwa andragogy adalah “seni dan cara menolong orang dewasa belajar yang berbeda dengan yang berlaku bagi anak-anak.

Perbedaan antara pedagogy dan andragogy

Sebagaimana dipaparkan dalam Sejarah Perkembangan Andragogy di atas, pada awalnya Knowles beranggapan bahwa andragogy berlawanan dengan pedagogy, tetapi akhirnya memahami bahwa andragogy adalah kelanjutan dari pedagogy. Pada Sub-title buku The Modern Practice of Adult Education ia menulis “Pedagogy Versus Andragogy” kemudian diubah menjadi “From Pedagogy to Andragogy”. Untuk membedakan antara keduanya Knowles memberikan bandingan sebagai berikut:
Pedagogy Andragogy
Peserta didik Ketergantungan terhadap guru cukup tinggi. Semua kegiatan diarahkan oleh guru. Mandiri, tidak terlalu tergantung kepada guru, guru hanya mendorong dan memberi motivasi
Pengalaman peserta didik Pengalaman yang dimiliki sangat sedikit maka metode pembelajaran menggunakan didaktik Peserta didik memiliki banyak pengalaman yang dapat dijadikan sumber belajar. Metode pengajaran menggunakan diskusi, problem solving, case study, dll.
Kesiapan belajar Belajar sesuai dengan standar yang berlaku di masyarakat. Belajar sesuai dengan kebutuhan mereka. Lebih banyak mempelajari sesuatu yang berkaitan dengan problem kehidupan.
Orientasi belajar Menguasai materi pelajaran. Kurikulum disusun berdasar urutan dan bobot pelajaran. Pembelajaran berdasar pada pengalaman yang dimiliki oleh peserta

Konsep Dasar Andragogy.
Ada lima dasar konsep dasar andragogy sesuai dengan perbedaan karakteristik antara anak dan orang dewasa:
1. Orang dewasa memiliki konsep pribadi, berkembang dari masa kanak-kanak yang tergantung kepada yang lain, menjadi orang dewasa yang mandiri, mampu menetukan arah hidup sendiri. Oleh karena itu peserta didik hendaknya berpartisipasi dalam menentukan tujuan pembelajaran, materi pelajaran dan kegiatan yang akan dilakukan.
2. Orang dewasa memiliki pengalaman yang banyak dan bervariasi, yang menjadi modal penting untuk terselenggaranya proses belajar sekaligus menjadi sumber belajar pada kelas balajar orang dewasa.
3. Orang dewasa memiliki kesiapan belajar yang berorientasi kepada peningkatan peran di masyarakat. Program pendidikan seharusnya mencakup kepentinngan peserta didik sehingga mereka dapat lebih siap.
4. Orang dewasa memiliki orientasi belajar untuk dapat diterapkan secara langsung, berbeda dengan anak-anak yang penerapan ilmunya ditunda hingga masa dewasa. Oleh karena itu pembelajaran berubah dari berpusat kepada meteri ajar, menjadi berpusat kepada pemecahan masalah.

Outcome Andragogy
Seseorang yang telah mengikuti proses pembelajaran secara andragogis diharapkan:
1. Mampu memahami diri sendiri; mengerti tentang kebutuhan pribadi, keinginan, motivasi, kemampuan dan tujuan. Mampu melihat diri sendiri secara obyektif, dan berusaha untuk menjadi lebih baik.
2. Mampu mambangun sikap menerima, menyukai dan menghormati orang lain. Mampu membedakan antara personal dan ide, melawan ide tanpa harus menyerang orang yang memiliki ide tersebut secara personal.
3. Mampu membangun sikap dinamis terhadap kehidupan. Ia harus dapat menerima perubahan sebagai kenyataan dan siap merubah sikap sesuai dengan perubahan keadaan. Ia harus mampu melihat bahwa pengalaman dan perubahan merupakan sumber pembelajaran.
4. Mampu bereaksi terhadap penyebab, bukan gejala, sebab pemecahan masalah tergantung pada penyebabnya bakan pada gejalanya.
5. Orang dewasa sanggup meningkatkan kemampuan pribadi agar dapat andil dalam meningkatkan kemajuan diri maupun masyarakat.
6. Ia mampu memahami nilai dasar manusia yang berupa pengalaman, menghargai nilai tradisi dan adat yang telah menyatukan manusia.
7. Mampu memahami masyarakat dan bisa mengarahkan perubahan mereka.

Langkah-Langkah Pelaksanaan Andragogy
Langkah-langkah kegiatan dan pengorganisasian program pendidikan yang menggunakan asas-asas pendekatan andragogy, melibatkan tujuh proses sebagai berikut :
1. Menciptakan iklim untuk belajar
2. Menyusun suatu bentuk perencanaan kegiatan secara bersama dan saling membantu
3. Menilai atau mengidentifikasikan minat, kebutuhan dan nilai-nilai
4. Merumuskan tujuan belajar
5. Merancang kegiatan belajar
6. Melaksanakan kegiatan belajar
7. Mengevaluasi hasil belajar (menilai kembali pemenuhan minat, kebutuhan dan pencapaian nilai-nilai.)

Beberapa Pendekatan
Ada beberapa pendekatan yang dugunakan dalam pembelajaran orang dewasa berdasarkan kebutuhan dan minat orang dewasa. Penekananan proses pembelajaran adalah menjadikan meraka terlibat proses pembelajaran secara aktif dengan pendekatan di antaranya:
1. Problem Centered Approach (Pendekatan Pemusatan Masalah). Guru atau tutor mengarahkan pemecahan masalah berdasar pengalaman kehidupan sehari-hari peserta didik. Motivasi mereka tetap lemah apabila mereka tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran. Dengan melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran mereka akan memilki rasa percaya diri. Mereka perlu dirangsang dengan diskusi agar memiliki kesempatan untuk belajar berfikir dan berperan aktif yang akhirnya terjalin komunikasi antar peserta.
2. Projective Approach (Pendekatan proyektif) dengan cara
- diberi gambar atau ceritera yang berkaitan dengan masalah yang mereka hadapi.
- diskusi tentang tokoh-tokoh, cerita pendek dalam raido, TV dll.
Sangat menguntungkan bila dalam cerita itu ada masalah yang tidak dapat dipecahkan, sehingga mereka berlatih untuk menganalisa. Di antara tanda mereka mulai berlatih menganalisa dan memecahkan masalah bila telah terdengar dari mereka kata-kata; kalau saya.. menurut saya….., seharusnya…., kalau begitu…. dan lain sebagainya.

3. Self Actualization Approach (Pendekatan Perwujudan Diri) dikenalkan oleh Abraham Maslow. Untuk memberikan gambaran manusia secara utuh ada ciri-ciri utama yaitu:
a. Proses terpusat pada peserta didik didasari pada pembangkitan percaya kepada kemampuan diri sendiri untuk mengatur kehidupan setiap harinya. Pendidik sebagai fasilitator harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan diri.
b. Peer Learning yaitu belajar bersama kawan dalam kelompok. Dimulai dari menumbuhkan hubungan yang dilandasi saling percaya, fasilitator memperlakukan anak didik sebagai kawan yang sederajat, saling menerima pendapat di antara mereka.
c. Membantu timbulnya Self Concept, untuk diketahui sejauh mana seorang peserta memandang dirinya memiliki andil dalam perubahan. Peserta didik dirangsang untuk berani mengemukakan pendapat dan prakarsa yang konstruktif dan bukan sekedar tanggapan yang pasif.

Pendekatan self-actualization menggunakan metode dan materi yang menjadikan peserta didik secara mandiri mampu menemukan cara penyelesaian masalah. Tutor merangsang peserta didik untuk dapat berkomunikasi dan belajar dari pengalaman sesama peserta dan mendorong semua peserta didik untuk mampu menggunakan segala yang ada menjadi sumber belajar, di manapun dan kapanpun, sehingga terlaksana pendidikan seumur hidup.
Untuk menunjang terlaksananya pendidikan orang dewasa secara efektif, dengan ringkas dapat dikatakan bahwa pada kelas orang dewasa: pendekatan, strategi, alat peraga, materi, format tempat duduk, lingkungan, dan metode yang digunakan perlu disesuaikan dengan tabiat, sifat dan kebutuhan orang dewasa.

Penutup
Uraian di atas hanya sekedar memperkenalkan secara global tentang gambaran, pelaksanan dan tujuan “andragogy”. Lebih jauh para pembaca disarankan untuk merujuk kepada buku-buku yang berkaitan dengan “Andragogy” atau “Pendidikan Orang Dewasa” yang sebagian di antaranya tercantum dalam bibliography berikut.


Bibliography
Jennifer Rogers, Adults Learning, Penguin Books Ltd, Middlesex, England 1971
K. Patricia Cross, Adult as Learners, Jossy-Bass Publishers, San Francisco, 2001
Patricia Cranton, Planning Instruction for Adult Learners, Wall & Emerson, Inc. Toronto, 1989
Peter Renner, The Art of Teaching Adults, Training Associate, Vancouver, 1998
Peter Sutherland, Adult Learning, Kogan Page, London, 2001
_________, Working With Adult Learners, Wall & Emerson, Inc. Toronto, 1992
Roy Prosser, Adult Education for Developing Countries, East African Publishing House, Nairobi, 1967
www.en.wikipidea.org/wiki/Andragogy
www.uni-bamberg.de/fileadmin/andragogik/08/andragogik/andragogy/index.htm
www.work911.com/cgi-bin/links/jump.cgi?ID=4214

Demokrasi Pendidikan Menurut John Dewey

DEMOKRASI PENDIDIKAN MENURUT JOHN DEWEY

Pendidikan memiliki ruang lingkup yang amat sangat luas. Hal tersebut dikarenakan pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Hal tersebut disebabkan karena pendidikan merupakan dasar kesuksesan bagi individu dan masyarakat. Secara umum ada pandangan teoritis umum tujuan pendidikan, pertama pandangan yang berorientasi pada kemasyarakatan dan yang kedua lebih berorientasi pada individu yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar. Oleh karena itu mengapa pemerintah di negara-negara maju sangat memperhatikan pendidikan. Hal itu disebabkan oleh anggapan mereka tentang adanya kekuatan besar dalam pendidikan untuk meningkatkan kemampuan individu dan juga masyarakat dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih maju dan sejahtera.
Dalam persepektif ini pendidikan merupakan usaha manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda untuk mengubah dan meningkatkan. Pendidikan ditinjau dari segi usaha meningkatkan kemampuan individu khususnya anak adalah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat. Para tokoh UNESCO menemukan pengertian pendidikan sebagai “ education is now engaged is preparinment for a tipe society which does not yet exist ”, atau pendidikan sekarang ini sibuk mempersiapkan manusia bagi suatu tipe masyarakat yang belum ada. Menurut Garten. V. Good dalam dictionary of education pendidikan mengandung pengertian sebagai suatu proses perkembangan kecakapan seorang dalam bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakat dan professional dimana seorang dipengaruhi oleh suatu yang terpimpin.
Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasannya pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh orang dewasa secara sadar yang telah memiliki dasar pengetahuan hidup yang lebih dari cukup untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan serta pengetahuan tentang kehidupan kepada generasi muda dalam rangka memberikan dan meningkatkan kemampuan (inside competence dan outside competence) generasi muda dalam segala segi kehidupan baik secara jasmani maupun rohani dengan berbagai sarana agar generasi muda selanjutnya lebih berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negaranya.
Dalam sejarah pertumbuhan pendidikan manusia, ada satu penggal sejarah yang diwarnai dengan pertentangan antara pendidikan yang dijalankan secara demokratis dan sebaliknya yang dilaksanakan dengan otoriter. Untuk itu muncullah suatu aliran progresivisme yang merupakan sebuah aliran filsafat pendidikan yang menekankan pada pentingnya pendidikan demokratis dengan tokohnya yang terkenal John Dewey subur dan berkembang di masyarakat barat. John Dewey merupakan orang yang paling bertanggungjawab dalam perancangan pendidikan orang Amerika sekaligus bertanggungjawab atas kehidupan moral bangsa ini yang mana pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pengembangan progresivisme Pierce dari metode menjadi teori kebenaran, agama, dan filsafat secara umum oleh William James dengan pragmatismenya. Filsafat pragmatisme dengan pandangannya terhadap ilmu (science) yang merupakan kemajuan (progress) selama sains itu selalu memperbaiki kesalahannya. Hal ini telah mempangaruhi John Dewey dalam pemikirannya tentang pendidikan.

John Dewey Riwayat Hidup Dan Pemikirannya Tentang Pendidikan.

John Dewey dilahirkan pada tanggal 20 oktober 1859 disebuah daerah pertanian dekat Burlington. Vermount. Dia adalah anak seorang pemilik toko di desanya. Ia memperoleh pendidikan pertamanya disekolah umum Burlington, kemudian melanjutkan ke universitas Vermount, dan ketika masih menjadi seorang mahasiswa dia berteman baik dengan Prof. H. A. P. Torrey yaitu orang yang membawa dan menguraikan semacam kelompok realism yang diadopsi dari Skotlandia. Setelah keluar dari Vermount pada tahun 1875, tahun 1879 Dewey menerima diploma kandidat, kemudian dia mengajar selama 3 tahun. Berkat intruksi dari Torrey, ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya pada universitas John Hopkins dengan desertasinya The Psikologi Of Kant. Ia menyelesaikan program doktoral dalam bidang filsafat pada universitas tersebut pada tahun 1884.
John Dewey mula-mula mengajar di Chicago kemudian di universitas Columbia New York yang memiliki satu perguruan tinggi pendidikan guru yaitu teachers college. Di universitas Chicago ia menjadi ketua jurusan filsafat, psikologi, dan pedagogik, dan di universitas tersebut ia mendirikan sebuah sekolah percobaan (laboratorium sekolah) untuk menguji dan mempraktekkan teorinya. Sekolah ini diberi nama university elementaire school dan menjadi masyhur diseluruh dunia. Pada tahun 1884 ia diangkat menjadi dosen lalu asisten profesor dan profesor di universitas Michigan. Disini ia menjadi ketua jurusan filsafat sejak 1889 sampai 1894. Pada tahun 1889 ia diangkat menjadi profesor filsafat di universitas Minesota. Ia mengajar di universitas Columbia pada tahun 1904 sampai 1931 untuk memberikan filsafat dan pedagogik kepada akademi guru. Kemudian menikah dengan Alice Chipman pada tahun 1886.
Pada tahun 1905 ia pindah ke Columbia university di New York dan memberikan kuliah fisafat dan pendidikan di teacher’s college. Selama di universitas ini Dewey giat dalam kegiatan-kegiatan organisasi. Dan dia tinggal di New York lebih dari 40 tahun sampai pensiun dari mengajar pada tahun 1930. ia meninggal pada tanggal 1 januari 1952 di New York. selama hidupnya ia banyak menorehkan karya-karya yang terkenal di dunia diantaranya My Pedagogic Creed (1897), School And Society (1899), How We Think (1910), Democracy And Education (1916), The American Civil Liberties (1920), Impressions Of Sovyet Russia And The Revolutionary Word Mexico-China-Turki (1929), Experience And Education (1938) dan Education Today (1940).
Agar dapat memahami pendirian Dewey mengenai pendidikan dan pengajaran perlu diketahui tentang dasar-dasar pokok dari pandangan hidupnya yang meliputi beberapa teori diantaranya:
1. Dasar pokok dari filsafatnya adalah teori evolusi Darwin yang mengatakan bahwasannya hidup ini dinamis tidak statis. Dari sini Deweymenarik kesimpulan bahwa letak puncak kemajuan itu tidak dapat diketahui terlebih dahulu, hal itu terletak dihari kemudian dan bergantung pada kemajuan masyarakat tiap masa.
2. John Dewey merupakan penganut teori pragmatisme, benar tidaknya suatu teori tergantung pada berfaedah tidaknya teori bagi manusia dalam kehidupannya.sesuai dengan hal itu maka tujuan kita berfikir adalah memperoleh hasil fikir yang dapat membawa hidup kita lebih maju dan lebih berguna. Dan penilaian tentang benar tidaknya sesuatu tergantung pada guna atau manfaatnya untuk masyarakat serta kemajuan.
3. Dalam kejiwaan, ia menganut teori behaviorisme (tingkah laku) yang berasumsi bahwa kehidupan jiwa digerakkan dari luar, tidak dari dalam. Tiap perbuatan atau tingkah laku manusia adalah reaksi (respons) atas rangsangan (stimulus) dari luar, dan perbuatan manusia itu selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Menurut dasar-dasar diatas, menurut Ag. Soejono dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Dewey pendidikan itu ialah memberikan kesempatan untuk hidup dan hidup adalah menyesuaikan diri dengan masyarakat. Kesempatan diberikan dengan jalan berbuat secara individu maupun kelompok untuk mendapatkan pengalaman sebagai modal berharga dalam berfikir kritis, serta produktif dan berbuat susila. sebenarnya pandangan-pandangan Dewey tentang pendidikan sukar diklasifikasikan kadang merupakan pengungkapan fakta, tetapi kadang ekspresi penilaian terhadap fakta. Dan fakta yang ia kemukakan ada tiga macam yaitu: hakekat manusia, masyarakat yang memiliki suatu sistem kelembagaan yang memiliki bagian-bagian yang saling bekerja sama, mengenai kondisi sekolah-sekolah.
Pandangan-pandangan John Dewey terhadap pendidikan secara umum pada dasarnya adalah upaya redefinisi pendidikan dan tujuan umum pendidikan. Definisi pendidikan menurut Dewey adalah proses dimana masyarakat mengenal diri. Dengan kata lain pendidikan merupakan proses agar masyarakat menjadi survival untuk menjadi kekal dan abadi. Secara khusus rekomendasi Dewey terhadap pendidikan mecakup dua hal diantaranya: Pertama. metode pendidikan. Menurut Dewey metode pendidikan adalah upaya menanamkan disiplin, tetapi bukan otoritas. Yang penting adalah mengontrol anak dari eksternal. Metode pengajaran dengan displin berarti seorang mengarahkan pelajaran dengan disiplin dengan cara: 1). Semua paksaan harus dibuang, 2). Agar dapat muncul minat, guru harus intim dengan kecakapan dan minat setiap murid, 3). Guru harus menciptakan situasi di kelas sehingga setiap orang turut berpartisipasi dalam proses belajar.
Kedua. kurikulum. Rekomendasi Dewey berkaitan dengan kurikulum tergantung pada definisinya tentang pendidikan dan pandangannya tentang tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan lembaga-lembaga yang membentuk masyarakat. Sedangkan isi pendidikan adalah mata pelajaran yang memberikan impulse kepada anak didik. Isi tersebut meliputi menejemen dan pelaksanaan semua materi pelajaran. Disamping itu pandangan Dewey mencakup beberapa point yaitu:
a) Education as a necessity of life.
Dewey memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan hidup. Dewey mengartikan pendidikan adalah transmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Dan hidup itu sendiri pada dasarnya adalah proses perbaikan diri. maka kelestarian hidup itu hanya dapat dijaga dengan perbaikan yang konstant yaitu pendidikan.

b) Education as a social fungction.
Masyarakat disini lebih daripada sebuah tempat dan perantara interaksi watak seorang dengan lingkungan. Lingkungan sosial lebih merupakan keseluruhan aktifitas seseorang terutama dalam melakukan aktifitas fisik sebagai pengaruh salah seorang dalam kelompok tersebut. Secara gradual ini merupakan efek pendidikan. dan masing-masing individu mempunyai tujuan atau partisipasi dalam beberapa aktivitasnya.
c) Education as direction
Pada situasi sosial tertentu anak berhubungan langsung dengan perbuatan mereka. untuk apa mereka melakukan dan berbuat secara tiba-tiba. Aktivitas mereka ini secara langsung merupakan hasil dari pengertian dari partisipasi-partisipasinya. Sehingga penampilan berbeda dengan tindakan seseorang. Hal ini merupakan akhir dari sebuah tindakan sebagai pokok dari kontrol sosial secara tidak langsung. Dan sekolah merupakan kesempatan yang besar bagi penafsiran sebuah aktivitas di dalam pengajaran dan mereka mungkin memperoleh perasaan sosial atas kekuatan mereka sendiri dari materi-materi serta peralatan yang digunakan.
d) Education as growth.
Kekuatan belajar dari makna pengalaman-pengalaman adalah suatu kebiasaan. Kebiasaan tersebut merupakan kapasitas aktif untuk mengatur aktivitas. Dan pendidikan adalah salah satu bagian dari pertumbuhan yang mana kriteria nilai dari pendidikan persekolahan merupakan perluasaan dalam membuat efektifitas hasrat seseorang secara nyata.
e) Education as preparation.
Dewey mengatakan” preparing or getting ready for some future duty or privilege’. Pendidikan adalah mempersiapkan atau mendapatkan kesiapan untuk banyak tugas atau tanggung jawab mendatang.
f) Education is unfolding.
Dewey mengatakan”the notion that education is an unfolding from within appears to have more likeness to the conception of growth which has been set forth”. Dewey lebih condong bahwa pendidikan dibentangkan dari yang nampak dan memiliki banyak kesamaan konsepsi pertumbuhan yang menjadi perlengkapan seterusnya.
g) Education as training of faculties.
“Education is the training of these faculties through repeated exercise”. Pendidikan merupakan latihan dari bagian-bagian melalui pengulangan pertanyaan.
h) Education is formation.
Pendidikan merupakan pembentukan diri. Implikasi pendidikan dari doktrin ini ialah: pertama. tindakan diri dibentuk oleh penggunaan obyek yang menimbulkan rencana dari reaksi-reaksi lain. Formasi diri ini adalah keseluruhan materi penyajian yang pantas menjadi materi pendidikan. Kedua, sejak penyajian diri mengandung penampakan bagian-bagian kontrol asimilasi dari penyajian-penyajian baru, karakter mereka sangat penting setelah efek dari penyajian – penyajian baru adalah sebagai penguat kelompok sebelumnya.
i) Education as recapitulation and restrospection.
Dewey menyatakan bahwa pendidikan harus mampu menjadikan seseorang pribadi. Individu memiliki aktivitas asal sebagai dasar kenyataan. Mereka dihasilkan dengan jalan demikian atau berasal dari satu keturunan. Belajar yang dihasilkan dari masa lampau menurut Dewey tidak akan membantu kita mengerti keadaan sekarang karena hal itu bukanlah bertujuan pada hasil. Masa kini menghasilkan masalah-masalah yang memimpinnya untuk menyelamatkan masa lampau. Masa lalu adalah sumber daya yang besar bagi imajinasi. Di sini dapat kita lihat bahwasanya pengetahuan masa lampau dan masa kini memiliki sinergisitas yang harus dipertahankan untuk mewujudkan suatu pendidikan yang lebih berhasil. Masa lalu sebagai talak ukur dalam melangkah kedepan dengan melihat aspek positif dan negative yang terjadi selama masa tersebut sedangkan pengetahuan masa kini membentuk suatu kondisi yang memunculkan dan mengkombinasikan realita yang ada. Kemudian dari kedua pengetahuan tersebut dapat ditarik benang merah yang akan memunculkan suatu teori baru yang efektif dalam pendidikan.
j) Education as reconstruction.
Pada pertumbuhan anak dan orang dewasa semua berdiri pada level pendidikan. Dan ide tentang kemajuan secara formal disimpulkan dalam pengalaman rekonstruksi yang terus menerus bagi kondisi yang akan datang. sebagai pembuka bentuk eksternal dan rekapitulasi masa lalu. Tujuan pendidikan di sini haruslah memiliki dan melakukan perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik untuk menjamin kualitas suatu pendidikan dan kuantitas nilai materi dalam pendidikan tersebut.
k) Education as national and as social.
Perhatian yang sistematis terhadap pendidikan merupakan makanan yang baik bagi pemulihan dan pemeliharaan integritas politik dan kekuasaan. Identifikasi dari situasi historis dapat memindahkan dorongan pendidikan suatu negara dengan nasionalistik dalam kehidupan politik. Suatu fakta membuktikan bahwa di bawah pengaruh pemikiran Jerman, pendidikan menjadi berfungsi umum dan hal ini diidentifikasikan dengan realisasi ideal suatu negara. Menurut Dewey suatu masyarakat harus mempunyai tipe pendidikan yang memberikan individu interest pribadi dalam relasi dan kontrol sosial, dan kebiasaan-kebiasaan sosial dan dirubah tanpa memperkenalkan kekacauan.

Demokrasi pendidikan.
Impian adanya pendidikan bermutu hanya dapat diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan. Demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Suatu tatanan masyarakat yang telah memiliki sistem yang mengatur segala kegiatan dengan baik, baik kegiatan yang bersifat internal maupun ekternal. Demokrasi pendidikan dalam pengertian luas patut selalu dianalisis sehingga memberikan manfaat dalam praktik kehidupan dan pendidikan yang mengandung tiga hal. diantaranya:
1. Rasa hormat terhadap harkat sesama manusia.
2. Setiap manusia memiliki perubahan kearah pemikiran yang sehat.
3. Rela berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.
Dalam setiap pelaksanaan pendidikan selalu terkait dengan masalah-masalah antara lain:
1. Hak asasi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan.
2. Kesempatan yang sama bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan.
3. Hak dan kesempatan atas dasar kemampuan mereka.
Dari prinsip-prinsip diatas dapat dipahami bahwa ide-ide dan nilai demokrasi pendidikan itu sangat banyak dipengaruhi oleh alam pikiran. sifat. dan jenis masyarakat dimana mereka berada. karena dalam kenyataan bahwa pengembangan demokrasi pendidikan itu akan dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan dan penghidupan masyarakat. Sedangkan demokrasi dalam proses pendidikan dapat diarahkan kepada pembawaan kultur dan norma keadaban. Dalam proses pembelajaran yang demokratis fungsi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Paolo Freire menyatakan bahwa untuk mencapai demokrasi pendidikan perlu diciptakan kebebasaan interaksi antara pendidik dan peserta didiknya dalam proses belajar dikelas. Jadi demokrasi pendidikan akan mendorong tumbuhnya iklim egalitarian (kesetaraan atau kesamaan derajat dalam kebersamaan) antara pendidik dan peserta didik. disamping itu demokrasi pendidikan merupakan cara yang paling strategis bagi pembentukan civil society. Atau demokrasi pendidikan dapat diartikan sebagai proses pendidikan yang dilaksanakan sesuai dengan cita-cita dan kehendak civil society.
Jadi demokrasi pendidikan mengandung arti proses menuju demokrasi dalam pendidikan. Tujuan demokrasi pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis, dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik demokrasi.

Bagaimanakah demokrasi pendidikan John Dewey?
Konsep demokrasi dalam pendidikan, sebagaimana dinyatakan dewey “ individu lebih didominasi oleh hasrat alamiah. Hasrat yang tinggi ini memunculkan rasa kasihan, keramahan, serta beberapa watak yang menonjol. Hasrat alami membuat individu sebagai warga negara yang baik sebagai pembela negara, tapi keterbatasan mereka berhubungan dengan kekurangan-kekurangan yang merupakan sebuah kapasitas yang digenggam secara universal. Hasrat yang tinggi terbentuk dalam pengalaman dan kebebasan. Dan satu-satunya kebebasan yang tetap penting adalah kebebasan intelegensi yaitu kebebasan observasi dan pertimbangan yang dilakukan atas nama sejumlah tujuan yang hakekatnya berharga. Kekeliruan yang paling sering dilakukan terhadap kebebasan adalah menyamakan dengan kebebasan bergerak atau sisi dengan sisi eksternal atau fisik dari kegiatan. Namun sisi eksternal atau fisik dari kegiatan tersebut tidak dapat dipisahkan dari sisi internal kegiatan yaitu kebebasan berfikir. berkeinginan. dan bertujuan.
Keuntungan yang secara potensional dalam peningkatan kebebasan ilmiah yaitu pertama; tanpa kebebasan tersebut. tidak mungkin bagi seorang guru untuk memperoleh pengetahuan tentang semua individu yang ditanganinya. yang kedua ditemukan dalam sifat dasar dari proses belajar itu sendiri. Disinilah minat sebagai panji-panji yang mengangkat sang anak sebagai pusat pendidikan sehingga menyerukan kebebasan dan inisiatif.
Dari beberapa point kebebasan yang dibawa oleh John Dewey ada beberapa konsp demokrasi pendidikan yang menjadi pokok konsep pendidikannya. diantaranya;

a. Kritik John Dewey terhadap filsafat dan praktek pendidikan tradisional.
Sejarah teori pendidikan ditandai oleh oposisi antara ide bahwa pendidikan merupakan pengembangan dari dalam kodrat manusia dan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan dari luar diri manusia bahwa pendidikan berdasarkan bakat alami dan bahwa pendidikan merupakan suatu proses upaya mengatasi kecenderungan alami dan mengantikannya dengan berbagai kebiasaan yang diperoleh lewat tekanan eksternal. Dan dewasa ini sekolah cenderung mengambil bentuk kontras antara gaya pendidikan tradisional dan gaya pendidikan progresif.
Ide-ide yang mendasari gaya pendidikan tradisional dirumuskan secara luas tanpa kualifikasi yang diperlukan untuk suatu pernyataan akurat. Jadi ide-idenya biasanya menyangkut materi pokok pendidikan yang terdiri dari perangkat informasi dan keterampilan yang telah dihasilkan pada masa lampau. karena itu tujuan utama sekolah ialah mewariskan segala pengetahuan tersebut kepada generasi yang baru. Dalam hal ini faktor mendasar dalam proses pendidikan adalah kondisi mengada-being-yang kuncup dan faktor lain adalah sasaran-sasaran sosial tertentu. maka nilai-nilai yang mengejawantah dalam pengalaman orang dewasa.
Kemudian ia mengkritik sekolah traditional mengenai beberapa hal. karena dianggap bukan tidak mampu menyentuh aspek-aspek pendidikan yang meliputi ranah afektif, kognitif dan psikomotorik, kritikannya tersebut diantarannya mengenai; bahan pengajaran, cara guru mengajar, cara murid belajar, dan cara menyelenggarakan sekolah. Pertama; disekolah kuno menurutnya terlalu banyak mata pelajaran yang diajarkan. karena tujuan sekolah kuno ialah agar para siswa dapat menduduki jabatan intelektual dan materio sentris. Menurut dewey tidak boleh kebutuhan golongan terbesar dikalahkan oleh kebutuhan golongan yang kecil. Oleh karena itu mata pelajaran yang banyak jumlahnya dan menimbulkan pendidikan intelektualitas dan itu perlu dikurangi dan diganti dengan pengajaran dan latihan kerja. Disamping itu pengetahuan yang diberikan di sekolah kuno kepada muridnya merupakan pengetahuan yang telah diolah. disiapkan. dan dipecahkan kesulitannya terlebih dahulu oleh orang dewasa. hal ini menurut dewey tidak ada gunanya karena anak mengalami proses berfikir sendiri dari permulaan hingga akhir sesuai dengan tingkat kemajuannya sendiri.
Kedua kritik Dewey terhadap guru dan sarana mengajar di sekolah kun guru meilii peran yang sangat memnentukan segala sesuatu (guru-central). Jadi guru yang memaksakan bahan pengajranan kepada anak. berfikir untuk anak. memecahkan soal untuk anak. sehingga yang aktif justru sang guru bukan anak didik. menurut Dewey tidak perlu adanya minat paksaan sebab kecuali minat langsung juga pada anak minat langsung dapat juga pada anak itu ditimbulkan minat yang tidak langsung. Guru dalam hal ini harus hanya berfungsi sebagai penunjuk jalan saja. pengamat tingkah laku anak untuk dapat mengetahui hal yang menarik minat anak. seperti Montessori. Dan dengan perkembangan tersebut ia dapat menentukan masalah yang akan dijadikan pusat minat anak.
Ketiga murid dan cara belajar. disekolah kouno muridhanya mendengarkan. It is made for listening! Kata Dewey sekolah tradisionalia namai sekolah anak, sekolah dengar, sekolah percaya, juga sekolah buku karena anak dipaksa mengambil hal yang telah dituturkan dan lengkap difikirkan untuknya dalam buku. Disini murid tidak mendapatkan kebebasan. tidak ada kesempatan untuk mengeluarkan sesuatu dengan spontan. perbuatan dan pikiran murid tergantung pada orang lain, lisan dari guru, maupun tertulis dari buku. Keadaan seperti itu wajid diubah, anak harus bekerja bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya. Dengan jalan ini anak belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Inilah makna istilah learning by doing yang dikehendaki oleh John Dewey. Disini anak harus dididik kecerdasannya agar padanya timbul hasrat untuk menyelidiki secara teratur dan akhirnya dapat berfikir secara keilmuwan, obyektif, logis, dan yang dipentingkan ialah jalan berfikir bukan hal yang difikirkan.
Keempat. penyelenggaraan sekolah. alat dan peraturan yang ada di sekolah tradisional sakan-akan memaksa anak untuk pasif, perbuatan di sekolah berlangsung kaku, tidak memberikan kebebasan bertindak, bentuk bangku, gedung, rencana pelajaran, semuanya mengikat, tidak memberikan kebebasan kepada anak maupun guru, tidak ada kesempatan untuk mengadakan penyelidikan (survey) dan percobaan jumlah mata pelajaran terlalu banyak dan dalam kelas terlalu banyak murid.
Apabila kritik tersirat itu dirumuskan secara explisit, agaknya ia berbunyi seperti berikut: Pada hakekatnya pola pendidikan tradisional bersifat paksaaan dari atas dan dari luar pendidikan tradisional memaksakan seluruh norma, materi pokok pelajaran, dan metode orang dewaa kepada anak muda yang hanya dapat bertumbuh secara berlahan menuju kematangan. Jurang itu sedemikian lebarnya sehinggga materi baik pokok pelajaran, metode belajar dan bertindak yang dituntut itu menjadi asing bagi kesanggupan yang ada pada anak muda.


b. Sekolah kerja
Timbulnya sekolah kerja adalah pelaksanaan dari aliran pendagogik yang dinamai pendagogik special. Setelah timbulnya aliran nasionallisme orang berpendapat bahwa pengetahuan adalah kuasa, knowledge is power, pengajaran dan pendidikan dalam sekolah menjadi amat individualistis dan intelektualistis, dan hasilnya ialah anak didik menjadi bersifat individualistis dan masyarakat menjadi kapitalis.
Kemudian aliran sosial dalam masyarakat menghendaki berubahnya masyarakat kapitalis tersebut yang sistem pengajaran dan pendidikannya. Bukan pengetahuannya tetapi keprigelan, kerja produktif, watak kesediaan mengabdi bukan pengetahuan yang berkuasa melainkan kemampuan. Dan tak seorang pun menyangka bahwa bahwa seorang warga negara yang biasa yang baik de facto dikuasai oleh sejumlah kontrol sosial dengan sejumlah kontrol sosial itu tidak terasa pembatasan terhadap kebebasan pribadi.
Jadi yang dimaksud dengan sekolah kerja ialah sekolah yang pusatnya terletak pada keaktifan pribadi anak, jasmani maupun rohani dan dasar sekolah kerja pada umumnya bertentangan dengan dasar sekolah lama, konfendional, Sedangkan dasar-dasar sekolah kerja diantaranya:
1. Dalam sekolah kerja anak harus aktif berbuat. mengamati sendiri, mencari jalan pemecahan sendiri dalam kesukaran, memikirkan, dan memecahkan sendiri yang dihadapi dan berinisiatif.
2. Pangkal dan tujuan usaha pendidikan dan pengajaran harus terletak pada anak itu sendiri, tidak pada metode, bahan pengajaran atau guru.
3. Sekolah kerja mendidik murid agar menjadi suatu kepribadian yang berani berdiri sendiri, bertanggung jawab untuk menjadi anggota yang baik dari suatu masyarakat. Inilah segi sosialnya.
4. Bahan pengajaran tidak diberikan terpisah-pisah melainkan sebagai suatu keseluruhan atai totalitas dengan suatu masalah hidup sebagai pusat.
5. Sekolah kerja tidak menginginkan pengetahuan sedia yang sebanyak-banyaknya yang diperoleh dengan hafalan dan menirukan, tetapi menghendaki pengetahuan dan keprigelan.
6. Sekolah kerja menganggap bahwa pendidikan fikir tidak ada gunanya. tetapi anak harus dididik berfikir dengan mengalami seniri proses berfikir secara kanak-kanak.
7. Pendidikan akhlak merupakan suatu segi penting dalam pendidikan sosial. maka sekolah kerja harus merupakan suatu masyarakat, tempat mendapatkan latihan dan pengalaman yang amat penting artinya untuk pendidikan sosial, watak dan kecerdasan.
8. Sekolah kerja mendidik anak melalui berbagai ketrampilan agar suka bekerja produktif sesuai dengan bakatnya.
Dari dasar-dasar diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya sekolah kerja yang merupakan perwujudan dari progresivisme pendidikan mempunyai keterikatan yang kuat dengan masyarakat dan upaya mengembangkannya melalui generasi mudanya. Karena bagaimanapun masyarakat tidak mampu mengadakan kegiatan pendidikan tanpa adanya sebuah intisari dengan tujuan tertentu begitu juga lembaga sekolah harus menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat karena hal ini merupakan aturan yang benar untuk bekerja dengan baik.
Keterangan-keterangan diatas merupakan gambaran tentang sekolah kerja. Sekolah kerja menurut John Dewey umumnya disebut pengajaran proyek atau metode soal maupun masalah. John Dewey yang menanamkan benih-benihnya tetapi yang menumbuhkan dasar itu menjadi suatu sistem pengajaran proyek atau metode (problem) itu ialah W.H. Kilpatrick.
Pendidikan menurut Dewey ialah memberikan kesempatan untuk hidup. Hidup ini menyesuaikan diri dengan menyesuaikan diri dengan masyarakat, kesempatan diberikan dengan jalan berbuat secara individual maupun rombongan untuk mendapatkan pengalaman sebagai suatu modal berharga dalam berfikir kritis serta produktif dengan berbuat susila. Dan sekolah yang dikehendaki oleh John Dewey adalah sekolah kerja dimana masyarakat harus menyediakan segala sesuatu yan dibutuhkan oleh warganya unutk pendidikan agar tidak tergantung kepada dogma, melainkan pada cara berfikir bebas, berdisiplin, obyektif, kreatif dan dinamis.
Disamping itu betapa pentingnya arti bekerja menurut Dewey, karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman menuntunberfikir seseorang sehingga orang tersebut dapat bertindak benar dan bijaksana, pengalaman juga mempengaruhi budi pekerti seseorang, pengalaman itu sendiri terbagi menjadi pengalaman positif dan negatif.
Kedua aspek inilah yang telah mendasari konsep sekolah kerja menurut john dewey yang pada dasarnya sekolah kerja menurutnya berdasarkan atas dua segi yaitu segi psikologis dan segi sosiologis.
1. Dasar psikologis.
Yang termasuk dalam dasar psikologisnya diantaranya: cara memberikan pelajaran wajib disesuaikan dengan tingkatan perkembangan. cara berfikir. dan cara bekerja anak. Penentuan bahan pelajaran juga wajib disesuaikan dengan perhatian dan keperluan anak sebagai akibat dari instingnya. Dewey mengenal 4 insting yaitu: 1). Insting sosial, 2). Insting membentuk dan membangun, 3). Insting menyelidiki, 4). Insting kesenian.
a) Insting sosial
Yang dimaksud dengan insting sosial adalah keinginan anak untuk mengadakan hubungan dengan orang disekitarnya. Ini dapat dilihat pada waktu anak bermain. Mereka bermain sebuah permainan bersama-sama dengan teman bermainnya. Frobel mengatakan bahwa teman adalah alat permainan yang terbaik. Disamping permainan masih ada alat penghubung sosial yang digunakan dalam pergaulan yaitu bahasa. Bahasa tidak hanya merupakan suatu alat penghubung dalam pergaulan semasa anak hidup tetapi juga alat penghubung dengan generasi yang lampau dan generasi yang akan datang. Berhubung dengan insting sosial ini anak perlu diberi banyak kesempatan untuk bekerja bersama-sama dengan menggunakan bahasa sebaik-baiknya.
b) Insting membangun dan membentuk.
Insting membangun dan membentuk dapat dilihat ketika anak bermain-main. Mereka membuat kolam, jembatan, rumah, roti, dan lain-lain dengan bahan yang belum berbentuk separti pasir, tanah, kayu, air dan sebagainya untuk kemudian dirusak, diperbaiki dan dirusak lagi. Juga dalam hal insting membentuk pada anak. Dewey sependirian dengan Frobel.
c) Insting menyelidiki.
Bukti adanya insting menyelidiki ialah bahwa anak itu suka merusak segala sesuatu yang ia pegang. Ia ingin mengetahui apa sebabnya mobilnya dapat berjalan, apakah isi perahunya, apakah bonekanya juga berdarah seperti dirinya apabila ditusuk pisau dan sebagainya.
d) Insting kesenian.
Insting kesenian adalah kelanjutan dari insting membangun. Anak ingin menghias hasil perbuatannya agar menjadi lebih baik dipandang mata. Rumah-rumahan yang baru saja selesai tidak ditinggalkan begitu saja. rumah itu dihiasi dengan berbagai alat, bendera, daun, bunga, tanaman, gambaran, dan lain sebagainya. Kesukaan anak untuk menari, menyanyi, menggambar dengan warna menmbah bukti bahwa pada anak ada insting kesenian itu.
2. Dasar sosiologis.
Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran adalah kepentingan kemajuan masyarakat. Tiap anggota masyarakat berkewajiban mengembangkannya dan anak wajib dibimbing ke arah itu. Jika bahan pegajaran diambil dar masyarakat dan pengajarannya dilangsungkan di tengah masyarakat maka dapat dikatakan bahwa pengajaran dijalankan oleh masyarakat, untuk masyarakat, dan dalam masyarakat. Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga itu (anak) harus diabdikan pada kehidupan sosial, jadi mempunyai tujuan sosial. Maka dari itu pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah sesuatu lembaga sosial.
Berdasarkan sekolah kerja yang ia prakarsainya, masyarakat harus menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi pendidikan warganya. Dan materi pelajaran disekolah harus diberikan secara terpadu dan dipraktekkan dalam masyarakat anak untuk memenuhi kebutuhannya. Pengalaman anak yang diperoleh di sekolah seharusnya dipakai untuk hidup dalam masyarakatnya dikemudian hari. Kehidupan seharusnya menjadi pusat bahan pengajaran (life central education).
Dalam kaitannya dengan bahan pelajaran. sekolah kerja mengajak kita untuk mengingat sifat manusia, minat dicoba ditarik ke arah hal-hal yang menyenangkan, pada kenikmatan-kenikmatan yang langsung dan tidak pada rasa sakit atau penderitaan lain. Dan jalan keluarnya adalah dengan mempsikologikan bahan pelajaran, mengubah bahan-bahan pelajaran, mengembangkannya di dalam bentangan dan batasan-batasan wilayah kehidupan anak dengan membiarkan saja pelajaran apa adanya dan memakai metode tipuan untuk membangkitkan minat pada pelajaran- bukannya mempelajari apa yang diminati berusaha membuat pelajaran menjadi menarik- bukannya minat itu menentukan pelajaran.
Berangkat dari hal diatas diketahui bahwasannya kekuatan-kekuatan anak saat ini yang harus mengemuka. potensi-potensinya saat ini mesti dilatih, sikap-sikapnya perlu diujudkan. Disinilah letak tugas guru yang formil yang cenderung hanya mengembangkan minat. Sehingga mata pelajaran yang diberikan berpusat pada masalah yang bernilai fungsional untuk anak. Dengan jalan itu tidak akan terpisah antara teori dan prakteknya, sekolah dan masyarakat anak.
Pada tahun 1896 Dewey memaklumkan dan mengusulkan suatu gagasan mengenai sekolah yang akan mendekatkan berbagai upaya teoritis dengan berbagai tuntunan praktis sebagai komponen yang paling esensial dari fakultas ilmu pendidikan. Inilah awal penerapan sekolah kerja menurutnya. Yang menjadi inti kurikulum Dewey adalah apa yang disebut okupasi. yaitu suatu kegiatan anak yang meniru atau berfungsi secara paralel dengan berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sosial orang dewasa. Kegiatan okupasional memiliki dua arah yaitu: terarah kepada studi ilmiah mengenai berbagai material dan proses yang terlibat dalam cara berfungsinya materi itu dan peran mereka di dalam masyarakat dan budaya. Maka dari itu fokus tematik bagi semua okupasi bukan hanya sebagai kesempatan untuk berbagai latihan manual dan studi sejarah melainkan juga untuk pengetahuan matematika, geologi, fisika, biologi, kimia, membaca, seni musik, dan bahasa.
Dalam contoh sekolah diatas kita tidak hanya melihat bagaimana minat anak terhadap aktivitas khususnya sendiri (membuat kebun), melainkan bagaimana cara membuat sesuatu memungkinkan si anak berkenalan dengan berbagai metode pemecahan masalah ekperiemental dimana kesalahan merupakan bagian penting dari suatu proses belajar. Menyajikan kepada anak pengalaman langsung disertai berbagai situasi problematik yang mereka ciptakan sendiri. Jadi sekolah kerja harus menyelenggarakan dan mengatur sekolahannya agar anak dapat bekerja dengan bebas dan spontan. Gedung dan alat pengajaran wajib disesuaikan dengan tujuan itu. Antara berbagai tingkatan sekolah dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi harus ada satu organisasi yang sama.

c. Pendidikan sosial dan kesusilaan.
Salah satu letak demokrasi pendidikan menurut Dewey terdapat pada pendidikan sosial dan kesusilaan yang ia gagaskan. Di sekolah Dewey tidak diutamakan kecerdasan walaupun kecerdasan penting tetapi bukan yang utama. Pendidikan kemasyarakatan dan kesusilaan menurut dewey amat erat hubungannya. Disinilah sebuah sekolah harus merupakan suatu masyarakat kanak-kanak yang sesuai dengan tingkatan kemajuan anak.
Bekerja sendiri dan bersama-sama disamping mengandung pendidikan kecerdasanyang amat penting artinya untuk pendidikan sosial juga merupakan pendidikan budi pekerti atau kesusilaan. Dewey merendahkan sekali pendidikan kesusilaan yang diberikan hanya dengan memberitahu dan menyuruh percaya pada dogma kesusilaan yaitu apa yang dinamai luhur dan apa yang dinamai hina. Pengalaman anak dalam bekerja harus dapat menumbuhkan pengertian dan minat terhadap kaidah hina dan luhur itu dan juga menimbulkan hasrat untuk berbuat luhur serta menghindari perbuatan hina.
Tetapi pengertian minat dan hasrat belum cukup. Yang terpenting adalah perbuatan luhur. Dengan bekerja sendiri dan bersama (memasak, memital, menenun, dan lain-lain) akan sampai pada kemampuan menyusun pembagian pekerjaan yang baik, memilih pemimpin dan penolongnya, bekerja bergotong royang, bersaing secara sehat, juga akan timbul suasana saling menceritakan pengalaman dan bertukar pikiran sehingga terciptalah tata tertib batin yaitu tata tertib atas dasar keinsyafan.
Referensi
Al-Abrasyii, Muhammad Attiyah. Tanpa Tahun. Ruuhu At-Tarbiyah Wa At-Ta’liim. Cetakan Kesepuluh. Al-Qaahirah; Daar Ihkyaau Al-Kutub Al-‘Arabiyah.
Baihaqi, MIF. 2007. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan. Dari Abendanon Sampai K. H. Imam Zarkasyi. Cetakan Pertama. Bandung; Penerbit Nuansa.
Butler, J. Donald. 1957. Four Philosophies And Their Practice In Education And Religion. Revised Edition. New York; Harper And Brothers Publisher.
Dewey, John. et. al. 2002. Pengalaman Dan Pendidikan. Cetakan Pertama. Alih Bahasa Oleh; John De Santo. Yogyakarta; Kepel Press.
Dewey, John. et. al. 2003. Dalam Menggugat Pendidikan Fundamentalis. Konservative. Liberal. Anarkis Oleh Paolo Freire. Ivan Illich. Enrich Fromm. dkk. cetakan ke- 4. Alih Bahasa Oleh; Omi Intan Naomi. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Djumransjah, M. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Cetakan Pertama. Malang; Bayu Media Publishing.
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa. Mengungkap Hakikat Bahasa, makna, dan tanda. Cetakan pertama. Bandung; PT Remaja Rosda Karya.
Idi, Abdullah Dan Suharto, Toto. 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam. Cetakan pertama. Yogyakarta; Tiara Wacana.
Iman, Muis Sad. 2004. Pendidikan Partisipatif. Menimbang Konsep Fitrah Dan Progressivisme John Dewey. Cetakan Pertama. Yogyakarta; Safiria Insani Press.
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Cetakan ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Langgulung, Hasan. 2003. Pendidikan Islam Dalam Abad 21. Cetakan ketiga. Jakarta; PT. Pustaka Al-Husna Baru
Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21. Cetakan pertama. Yogyakarta; Safiria Insani Press.
Prasetya. 2000. Fisafat Pendidikan Untuk IAIN. PTAIN. PTAIS. cetakan ke-dua. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Purwanto, M. Ngalim. 2003. Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis. Edisi Kedua. Cetakan Kelimabelas. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya.
Soejono, Ag. 1978. Aliran-Aliran Baru Dalam Pendidikan. Bagian Ke-1. Cetakan Kelima. Bandung; Penerbit CV. Ilmu.
Tafsir, Ahmad. 2001. Filsafat Umum. Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Cetakan Kesembilan. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.
Wan Daud, Wan Mohd. et. al. 2003. Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib Al-Attas. Cetakan pertama. Terjemah Oleh; Hamid Fahmy. M. Arifin Ismail. dan Iskandar Amel. Bandung; Mizan.

bahasa dalam filsafat

Peranan Bahasa Dalam Perkembangan Filsafat

Abstrak
Sebagai sarana komunikasi, bahasa memiliki peran yang sangat besar dalam mentransformasi pemikiran seseorang kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan sehingga dapat dimengerti. penggunaan dan pemahaman bahasa yang baik telah mewujudkan perkembangan ilmu pengetahuan dari segala bidang, tidak terkecuali filsafat. Dalam tugas pokoknya, filsuf menggunakan analisis bahasa sebagai sarana untuk menguraikan konsep-konsep filosofis sehingga mudah dipahami dan berkembang sesuai dengan peradaban ummat manusia.
Untuk menganalisis peranan bahasa dalam perkembangan filsafat, penulis membagi fase perkembangan filsafat menjadi empat bagian. Dari sinilah dapat diketahui konsep-konsep dan karakter filsafat pada masing-masing zaman. Tentunya memiliki perbedaan dan ciri-ciri tersendiri, walaupun demikian, perkembangan yang terjadi merupakan hasil dari pengembangan dan sikap kritis para filsuf terhadap konsep-konsep lama.
Kata kunci: kosmosentris, teosentris, antroposentris, logosentris, analogi, anomali, analitika bahasa, hermeneutika, dekonstruksi.
Pengantar
Bahasa memegang peran penting dalam kehidupan manusia baik secara lisan maupun tulisan. tanpa bahasa tidak akan terjadi komunikasi dan transformasi pengetahuan sehingga manusia selalu berada dalam keterbelakangan. lazimnya dalam sebuah komunikasi, bahasa merupakan alat sentral untuk menyampaikan sebuah pesan dan memahami maksudnya. Begitu juga dalam menyampaikan ilmu pengetahuan, bahasa menjadi salah satu sarana ilmiah dalam berfikir sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang logis.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari peran bahasa didalamnya, apalagi dalam perkembangan filsafat. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena hubungan antara bahasa dan filsafat telah berjalan lama, yaitu semenjak zaman Yunani kuno. Dalam hal ini, terdapat hubungan timbal balik antara bahasa dan filsafat. Pertama, bahasa menjadi subjek atau alat dalam menganalisis, memecahkan, dan menjelaskan problema-problema dan konsep-konsep filosofis sehingga filsafat dapat berkembang. Kedua, bahasa menjadi objek material, yaitu menjadi pembahasan dalam filsafat sehingga perkembangan bahasa semakin meningkat.
Hubungan yang sudah lama dan erat ini tidak dapat dipisahkan terutama dalam pengertian pokok bahwa tugas utama filsafat adalah menganalisis konsep-konsep dan hal ini akan terungkap melalui bahasa. Maka pada kesempatan ini, penulis akan membahas tentang peranan bahasa sebagai subjek atau sarana dalam mengembangkan filsafat.
Pembahasan
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu: philosophia, yang terdiri dari dua kata: philos (cinta) dan shofos (hikmah, kebijaksanaan dan kebenaran). Jadi secara etimologi filsafat adalah cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Dan secara terminology adalah disiplin ilmu yang berupaya untuk menyajikan hakekat, kebenaran dan nilai suatu realitas.
Secara sederhana filsafat bertujuan untuk mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin dan menerbitkan serta mengatur semua itu dalam bentuk sistematika. Oleh karena itu, filsafat membawa pemahaman dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak.
Perjalanan filsafat sebagai buah pikiran umat manusia berlangsung secara perlahan tetapi pasti, karena tujuan yang yang hendak dicapai sudah jelas yaitu untuk menemukan suatu kebenaran hakiki. Kenyataannya, sifat ilmu filsafat yang dinamis dan hakiki inilah yang menyebabkan filsafat berkembang terus sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia.
Secara garis besar fase-fase perkembangan filsafat terbagi menjadi empat, hal ini berjalan secara diakronis. Pertama, kosmosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran wacana filsafat yaitu yang terjadi pada zaman kuno. Kedua, teosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek pembahasan filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat wacaana filsafat, hal ni berkembang setelah abad modern sampai sekarang, yang disebut dengan pascamodern atau postmodern.
Walaupun objek filsafat pada keempat fase tersebut berbeda-beda akan tetapi tetap menjadikan bahasa sebagai alat pokok dalam menguraikan kosep-konsep filosfi, bahkan lebih dari itu, fase keempat yaitu logosentris meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat.
Besarnya perhatian para filsuf terhadap bahasa, antara lain disebabkan oleh fungsi bahasa itu sendiri. Yaitu sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi, sedangkan ahli sosio-linguistik mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat. Selain yang tersebut ditas, Fathi Ali Yunus dalam bukunya Asaiyat Ta’lim Lughoh al-Arabiyah wa al Tarbiyah al Diniyah, menambahkan fungsi bahasa yaitu sebagai penyenangan jiwa dan pengurangan kegoncangan jiwa. Kemudian dikuatkan oleh Rushdi Ahmad dalam bukunya Ta’lim al Arabiyahli Ghairri al Natiqina biha biha Manajihu wa Asalibu, bahwa selain disebut diatas, bahasa memiliki fungsi heuristic, yaitu penggunaan bahsa untuk mencapai pengungkapan tabir fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya.
1. Fase kosmosentris
Merupakan zaman kuno, yaitu zaman peradaban Yunani dan Romawi. Pada zaman Yunani Filafat merupakan dasar untuk memandang hakikat segala sesuatu termasuk bahasa. Hal ini dapat dipahami karena pada zaman tersebut belum berkembang ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, bahasa juga merupakan objek materi pemecahan problem spekulatif para filsuf. Pada saat itu muncullah persoalan filsofis yaitu apakah bahasa itu dikuasai oleh alam, nature atau fisei ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos.
Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa bersifat alamiah (fisei) menyatakan bahwa bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi. Kaum ini selanjutnya mengutarakan bahwa bahasa bukanlah hanya bersifat fisie belaka melainkan mencapai makna secara alamiah atau fisei. Sebaliknya Pembahasan kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa persetujuan diam, karena hal ini merupakan tradisi maka dapat dilanggar dan dapat berubah dalam perjalanan zaman.
Selain itu pembahasan tentang hakikat bahasa di Yunani ditandai pula dengan munculnya teori analogi dan anomali. Keduanya merupakan diskursus filosofis yang mendasar mengingat bahasa merupakan sarana yang utama dalam filsafat terutama dalam logika. Golongan yang berpendapat tentang analogi, menyatakan bahwa alam mini memiliki keteraturan, demikian pula manusia juga memiliki keteraturan dan hal ini terefleksikan melalui bahasa. Oleh karena itu, menurut kelompok analogi bahwa bahasa itu teratur dan disusun secara teratur pula. Keteraturan dalam bahasa membawa konsekuensi dapat disusun suatu tata bahasa dan satu pradigma. Sebaliknya kaum anomalis berpendapat bahwa bahasa dalam bentuk-bentuknya tidak teratur, dalam pengertian ini bahasa pada hakekatnya bersifat alamiah.
Disamping pembahasan tentang analogi dan anomaly, tradisi analitika bahasa juga telah berkembang pada saat itu, yaitu ketika Sokrates berdialog dengan kaum Shofis. Metode yang digunakan dalam analitika bahasa pada saat itu dikenal dengan metode dialektis-kritis. Adapun proses dialektis kritis dalam hal ini mengandung suatu pengertian yaitu dialog antara dua pendirian yang bertentangan dan merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan antar ide.
Metode yang digunakan oleh Sokrates dan yang dikembangkan oleh kaum Shofis (retorika) memiliki perbedaan yang sangat tajam, walaupun demikian keduanya memiliki kesamaan yaitu menjelaskan konsep-konsep filosofis melalui bahasa.
Kemudian Plato mengemukakan pemikiran filosofisnya tentang bahasa, bahwa bahasa pada hakikatnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantara ‘onomata dan rhemata’ yang merupakan cerminan dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut.
Setelah itu, peranan bahasa menjadi semakin penting ketika Aristoteles mengangkat bahasa dalam “organon’ atau logika tradisional. Dalam karyanya ini, Aristoteles menjelaskan bahwa logika tradisional meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan, batasan, susunan fikir, penyimpulan langsung dan sesat pikir. Secara menkerucut logika ini sangat mendasar pada istilah yang diwakili oleh simbol bahasa, seperti pembentukan proposisi, premis, penyimpulan data. Selain itu, Aristoteles mengembangkan konsep kata menjadi tiga onomata, rhemata, dan syndesmoy.
Secara garis besar karya-karya besar para filsuf Yunani yang menaruh perhatian terhadap bahasa merupakan embrio, kemudian dilanjutkan oleh para sarjana dari Alexandaria terutama karya kaum Stoa yang kemudian pada perkembangan selanjutnya menjadi dasar-dasar pokok bagi pengembangan bahasa aliran tradisional. Sumbangan kaum Stoa terhadap filsafat bahasa cukup besar terutama dalam menentukan prisip-prinsip analisisnya secara sistematis. Pertama kaum Stoa telah membedakan antara studi bahasa secara logika dan secara gramatika. Kedua, mereka telah menciptakan istilah khusus yang berbicara tentang bahasa.
Pada zaman Romawi, objek perhatian filsuf terhadap bahasa berkembang kearah karya gramatika bahasa latin, adapun tokoh-tokoh yang terkenal adalah Varro dan Priscia. Karya besar mereka adalah meletakkan dasar-dasar dalam bidang etimologi dan morfologi yaitu tentang ‘Partes Orationis dan Oratio yang lazim disebut sintaksis. Dalam bidang morfologi Priscia membedakan jenis kata menjadi delapan macam yaitu: Nomen, verbum, participium, pronomen, Adverbium, Praeposito, interjection, conjunction.
2. Fase Teosentris
Merupakan fase abad pertengahan, pada masa ini Tuhan dijadikan objek dalam kajian filsafat, sebab ini merupakan masa keemasan filsuf Kristiani terutama kaum Patristik dan Skolastik sehingga wacana filosofis juga sangat akrab dengan teologi.
Perkembangan filsafat lebih maju dari sebelumnya, dengan pendidikan yang dibangun dalam 7 sistem sebagai pilar utamanya dan bersifat liberal. Adapun ketujuh sistem tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu Trivium, yang terdiri dari gramatika, dialektika (logika) dan retorika, dan Quadrivium, yang terdiri dari aritmetika, geometrika, astronomi, dan music.
Walaupun demikian, kemajuan pada abad ini tidak meninggalkan pondasi filsafat yang telah di bentuk oleh para filsuf pada zaman kuno. Dan kemajuan yang dialami karena sikap kritis para filsuf pada abad ini terhadap karya-karya terdahulu, dengan memperbaiki yang kurang kemudian memunculkan konsep-konsep baru yang sesuai dengan peradaban manusia ketika itu. Dalam hal ini, analisis bahasa menjadi alat yang pokok untuk memahami konsep-konsep filosopi terdahulu dan menciptakan konsep-konsep filosofi baru.
Oleh karena itu, perhatian filsuf terhadap bahasa juga sebagian mengarah kepada perkembangan linguistic sehingga pemikiran filosifisnya merupakan dasar pijakan linguistik. Pada masa ini persoalan klasik Yunani yang berkaitan dengan hakikat bahasa yaitu fisis dan nomos serta analogi dan anomaly kembali merebak menjadi isu spekulatif yang aktual pada saat itu, adapun pembahasannya lebih meluas dari sebelumnya.
Adapun tokoh filsuf pada masa ini yang menaruh perhatian terhadap bahasa dalam mengklarifikasikan konsep filosofis terutama dalam kaitannya dengan religi adalah Thomas Aquitas. Metode analitika bahasa yang digunakan adalah analogi dan metaphor. Dalam analoginya Thomas menggunakan analisis bahasa melalui penalaran logis untuk mengangkat wacana teologis ke taraf ilmiah filosofis sehingga terjadi perpaduan hubungan horizontal antara Tuhan dan ciptaan Nya dengan hubungan vertikal antara ciptaan dengan Tuhannya. Setelah menggunakan analogi Thomas mengembangkan konsepnya melalui metaphor. Melalui ungkapan metaforis persoalan-persoalan teologi dapat diklarifikasikan secara ilmiah filosofis. Hal ini dapat dilakukan dengan sendirinya melalui kelenturan bahasa.
Dalam karyanya Summa Theologiae diungkapkan bahwa “tangan Tuhan menciptakan keajaiban”. Yang dimaksud dengan tangan dalam pengertian harfiah adalah mengacu pada anggota badan manusia. akan tetapi pada konteks ini tangan Tuhan dimaksud adalah kekuatan atau kekuasaan Tuhan. Dengan melalui ungkapan bahasa metaforis ini, Thomas mampu mengungkap makna spiritual teologis ke dataran ilmiah filsofis sekaligus menghilangkan kekaburan ungkapan teologis.
3. Fase Antroposentris
Merupakan fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filosofis, hal ini berkembang pada zaman modern. Yaitu zaman yang ditandai dengan Renaissance dan Aufklarung, pemikiran–pemikiran filsafat secara berangsur–angsur berkembang kearah timbulnya ilmu pengetahuan alam modern. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, perhatian filsuf terhadap bahasa juga semakin mengarah kepada ilmu pengetahuan bahasa (linguistik). Bahkan lebih penting lagi, berkembangnya bahasa sebagai sarana ilmu pengetahuan, terutama peranan bahasa dalam pengembangan metode ilmiah, logika dan epistemilogi.
Bahasa merupakan sarana berpikir ilmiah dan alat komunikasi verbal yang menyampaikan pikiran seseorang kepada yang lain, baik pikiran tersebut berlandaskan metode induktif maupun deduktif. Mengunakan bahasa yang baik dalam penyampaian sesuatu pikiran akan memudahkan orang lain untuk memahaminya. Begitu juga, memahami bahasa dengan baik akan memudahkan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan. oleh karena itu, untuk mencapai komunikasi ilmiah, maka bahasa yang digunakan harus terbebas dari unsur emotif. Selain itu, bahasa juga harus bersifat refroduktif, dalam artian apa yang disampaikan oleh informan harus sesuai dengan apa yang diterima oleh penerima, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
Adapun peranan bahasa dalam epistemilogi berkaitan erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga teori kebenaran dalam epistemilogi, yaitu pertama, teori koherensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Kedua, teori kebenaran korespondensi, menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan berkorespondensi atau berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut. Ketiga, teori kebenaran pragmatis, menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar apabila pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan.
Justifikasi kebenaran menurut teori koherensi, korespondensi dan pragmatis sangat tergantung pada ungkapan atau pernyataan yang dirumuskan melalui bahasa dan ungkapan-ungkapan tersebut terdiri atas pangkal pikiran yang juga dirumuskan melalui bahasa. Maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa sangat menentukan pada sistem teori–teori kebenaran tersebut. Dan sebaliknya kesalahan dalam merumuskan bahasa akan berakibat kesalahan dalam kebenaran pengetahuan.
Adapun peranan bahasa dalam logika sangat besar. Secara etimologis logika adalah istilah yang dibentuk dari kata sifat bahasa Yunani logike yang berhubungan dengan kata benda logos, berarti pikiran atau perkataan sebagai pernyataan dari pikiran. Sedangkan secara terminologi logika adalah pengetahuan di bidang penyelidikan yang membahas pemikiran, yang dinyatakan dalam bahasa. Ada juga yang mengatakan penelaahan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang baik/benar dari penalaran yang jelek/salah. Sedangkan Amsal Bakhtiar mendefinisikan bahwa logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berfikir. Logika sebagai kegiatan berfikir yang sistematis memiliki term dan proposisi untuk menarik sebuah kesimpulan. Apabila Term dan prosisi benar, maka kesimpulan akan benar. Adapun kebenaran term dan proposisi ditentukan oleh tata bahasa, baik secara semantik maupun sintaksis.
Walaupun perkembangan filsafat mengarah pada timbulnya ilmu pengetahuan modern, namum pada zaman modern ini terdapat tokoh-tokoh filsafat modern yang memiliki pengaruh sangat kuat terhadap berkembangnya filsafat analitika bahasa. Diantaranya Rene Descartes dengan metode skiptisnya dan bertumpu pada metode ‘Cogito Ergo Sum’. Adapun paradigma rasionalisme Rene Descartes dengan metode skiptisnya yang mengkritik ilmu pengetahuan adalah dengan mengembangkan prinsip analisis bahasa berdasarkan rasio.
Dalam metode skpitsisnya, untuk mencapai kebenaran pengetahuan, Descartes berpangkal pada keragu-raguan terhadap segala sesuatu. Namum keragu-raguannya bersifat metodis bukannya skiptis mutlak. Adapun tahap-tahap didalamnya bertolak dari keragu-raguan metodis bahwa tidak ada yang diterima sebagai suatu yang benar, kemudian semua bahan dan persoalan yang diteliti, dibagikan dalam sebanyak mungkin bagian, selanjutnya sistematik pikiran dilakukan dengan bertitik tolak dari pemahaman objek yang paling sederhana dan mudah menuju pengertian yang lebih komplek, akhirnya sampailah kepada tinjaun yang bersifat universal sehingga ditemukan suatu kepastian.
Doktrin Descartes tentang ‘cogito ergo sum’ (aku berfikir maka aku ada) yang ditindaklanjuti dengan keragu-raguan metodelogis beserta langkah-langkahnya untuk mendapatkan kebenaran pada hakekatnya adalah menerapkan metode yang bersifat analitik bahasa yaitu mengungkapkan kebenaran sebuah pernyataan melalui analisis bahasa. Rangkaian berfikir yang benar adalah berfikir yang sesuai dengan struktur logika sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang benar. Adapun logika yang benar tidak terlepas dari unsur bahasa yang baik.
4. Fase Logosentris
Yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filosofis, hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang, yang dikenal dengan postmodern. Logosentris yang menandai perkembangan filsafat postmodernisme seiring dengan berkembangnya strukturalisme dan pasca strukturalisme yang kemudian menghasilkan filsuf-filsuf hermeneutika.
Apabila pada era antropologisme manusia memproklamirkan kekuatan pikirannya lewat rasio maka pada era logosentri memaklumkan kematian manusia sebagai subjek, hal ini dikarenakan pada zaman ini manusia tidak lagi dilihat sebagai subjek bahasa, subjek pemikiran, subjek tindakan, dan tidak lagi sebagai pusat pemaknaan realitas, melainkan suatu objek yang dibicarakan oleh struktur-struktur bahasa dan dikendalikan oleh sistem.
Gejala postmodernisme muncul dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan seni, dalalm bidang ilmu filsafat berkembangnya paham postmodernisme, tidak dapat dipisahkan dengan berkembangnya strukturalisme dan postrukturalisme yang memiliki perhatian besar tehadap analisis bahasa. Hal ini dapat kita lihat di Perancis misalnya Derrida mengembangkan pemikirannya bertolak dari konsep struktualisme bahasa Ferdinan de Saussure, adapun Lyotard beranjak dari konsep Language game Ludwig Wittgenstein, dan Gadamer mendasarkan pada prinsip hermeneutika, yang mengatakan bahwa bahasa berfungsi sebagai aktualisasi tradisi, sedangkan Habermas berbicara tentang bahasa sebagai sarana integrasi sosial antara berbagai subjek komunikasi dan sarana sosialisasi kebutuhan dan kepentingan yang melatarbelakangi komunikasi itu.
Era postmodernisme membawa manusia mengkaji kembali nilai, harkat dan martabatnya. manusia tidak lagi dipandang sebagai sentral pemikiran yang dalam kenyataannya dikuasai oleh teknologi dan sains, dan wibawa moral dan religious menjadi semakin pudar. Selain itu tradisi modernism secara linguistik hanya membangun suatu narasi besar yaitu totalitarian dalam arti hanya ada satu prinsip saja yang mendasari dan membangun realitas ini. Manusia tidak dipahami sebagai makhluk yang bersifa total tetapi bersifat parsial, oleh karena itu harus dipahami dalam realitas keanekaragamannya. Dalam keadaaan ini maka hadirlah para filsuf postmodernisme yang mendekonstruksi paradigma modernism. Yaitu melakukan suatu pembongkaran dan menyusun kembali dalam suatu konstruksi baru akan tetapi bukan melakukan penghapusan.
Pemikiran dekonstruksi ini diangkat oleh Derida dan Lyotard untuk mengembangkan pemikirannya. Konsepsi dekonstruksi Derrida diilhami oleh pemikiran strukturalisme bahasa menurut Ferdinan de Sausurre yang kemudian menjadi ilmu bahasa modern. Dekonstruksi poststrukturalis Derrida mengemukakan suatu konsep pembongkaran kesatuan alamiah modernism antara konsep signified sebagai pananda dan aspek lahiriah (signifier) sebagai petanda dari bahasa didalam menerima realitas.
Dalam bidang sastra dekonstruksi ini sebagai suatu metode untuk memahami suatu teks. Selain itu dekonstruksi ini juga dimaksud untuk memberi penjelasan pada suatu teks. Derrida berupaya melacak struktur dan strategi pembentukan makna dibalik tiap teks filosofis, dengan jalan membongkar system-sistem makna kata yang tersembunyi di dalamnya. Oleh karena itu , Dekonstruksi yang dikembangkan oleh Derrida berdasarkan paradigma bahasa dan Derrida mendasarkan pada konsep bahasa Ferdinan de Saussure.
Kesimpulan.
Proses perkembangan filsafat dari zaman Yunani kuno sampai sekarang yang terbagi dalam empat fase yaitu kosmosentris, teosentri, antroposentris, dan logosentris, tidak terlepas dari peran bahasa didalamnya. Dengannya konsep-konsep filosofi dapat diuraikan dengan jelas sehingga muncullah teori-teori baru yang sangat membantu perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Selain itu sikap kritis para filsuf yang didasari oleh analisis bahasa telah membawa mereka kepada pemahaman baru tanpa melepaskan konsep lama, hal ini berlangsung sesuai dengan perkembangan peradaban manusia dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi.
Apalagi pada zaman sekarang ini yaitu era postmodernisme, bahasa merupakan objek kajian filsafat yang utama sehingga banyak mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan baik dalam ranah sains: nature sain, ilmu sosial seperti antropologi, ekonomi, politik, dan teknologi. Serta dalam ranah agama, khususnya berkaitan dengan sastra yaitu teks kitab suci.
Walaupun bahasa memiliki peran yang sangat besar dalam filsafat akan tetapi bahasa memiliki keterbatasan dalam mengkaji filsafat khususnya hal-hal yang berkaitan dengan metafisika. Dan tidak menutup kemungkinan adanya sarana baru dalam mengembankang filsafat kea rah yang lebih sempurna.
Referensi
Kaelan, M.S, 1998, Filsafat Bahasa,Yogyakarta:Paradigma.
Bahtiar, Amsal, 2009, Filsafat Ilmu, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
¬¬______ , Amsal, 1997, Filsafat Agama, Jakarta:Logos.
Parera , Danile Jos,1983, Pengantar Linguistik Umum, Flores : Nusa Indah.
Sugihato, Bambang, 1996, Postmodernisme: Tantangan bagi
Filsafat,Yogyakarta:Kanisius
Bloch ,Bernard and Trager, George L., 1942, Out Line of Lingusitic Analysis,
Baltimore: Lingusitic Society of Amerika.
Broam ,Joseph, 1995, Languagae And Society, Garden City: Doubleday and
Company.
Yunus , Fathi Ali, 1981, Asasiyat Ta’lim al-Lughoh al-Arabiyah wa al Tl
-Tarbiyah al-Diniyah, Kairo:Daer-el-Tsaqafah.
Thaimah, Rushdi Ahmad, 1989, Ta’lim al Arabiyahli Ghairri al Natiqina biha
biha Manajihu wa Asalibu, Rabath:Isesco
Titus , Harold H, Smith , Noran Richard T, 1984, Living Issues Philosophy, New York: D Van Nostrand Company.
Bertens, 1981, Filsafat Barat dalam abad XX, Jakarta:Gramedia.
Borgmann, Albert, 1974, The Philosophy of Language, Nederland: The Hague
Mudlor, Achmad, 2004. Filsafat Ilmu Pengetahuan,Surabaya: Rayyan Al-Baihaqi
Press
Bakker, Anton, 1984, Metode-Metode Filsafat, Jakarta:Galia Indonesia.
Hakim, M. Arif,1994, Sinyal Kematian Postmodernisme,Yogyakarta: Aditia
Media.
Sumaryono, E., 1993, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius
Gagasan Pendidikan Islam dan Tantangannya Menurut Perspektif Syed Muhammad Naquib al-Attas
Abstrak
Syed Muhammad Naquib al-Attas diakui sebagai sarjana ulung dan pemikir Muslim yang telah memberikan sumbangan besar dalam pemikiran Islam kontemporer dan pendidikan Islam. Ide dan pandangan beliau sering menjadi rujukan, bukan saja oleh golongan mahasiswa tetapi juga oleh sebagian besar para pakar dan cendekiawan pada hari ini. Bahwa al-Attas menyumbangkan tiga di antara penemuan ilmiah terpenting di Dunia Islam yang sangat berpotensi mempengaruhi perjalanan kehidupan umat Islam secara mendalam dan menyeluruh. Sumbangan besar al-Attas ini ialah: Pertama, bahwa masalah terpenting yang dihadapi oleh umat Islam kini ialah masalah ilmu pengetahuan, kedua, ilmu pengetahuan modern tidak netral karena dipengaruhi oleh pandangan Barat (westernisasi) dan ketiga, Islamisasi Ilmu. Oleh karenanya, al-Attas menawarkan konsep ‘inculcation of adab’ atau at-Ta’dib, yaitu proses penanaman adab, yang menjadikan anak didik dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Kata kunci: Ilmu Pengetahuan, Westernisasi, Penanaman Adab


Pendahuluan
Pendidikan adalah aspek terpenting bagi kehidupan manusia. Dengan pendidikan manusia menjadi beradab, berlaku adil, bijak, dan menjunjung tinggi realitas kebenaran. Sebaliknya, tanpa pendidikan, ia menjadi zalim, arogan dan menentang kebenaran, atau dalam kata lain, tetap dalam ke-insanan-nya yang banyak salah dan lupa. Untuk itu, pendidikan secara betul dan tepat adalah kebutuhan primer manusia. Namun demikian, untuk memahami pendidikan secara betul dan tepat, kita harus mengkajinya sesempurna mungkin, agar mendapatkan hasil yang juga sempurna dan berimplikasi kepada pengaplikasian yang total pula. Adapun pengertian yang berkembang mengenai pendidikan saat ini didasari oleh suatu sikap yang berpendapat, bahwa pendidikan memainkan peranannya sebagai mobilitas sosial-ekonomi individu atau negara. Dominasi sikap seperti ini dalam dunia pendidikan telah melahirkan patologi psiko sosial, terutama di kalangan peserta didik dan orang tua, yang terkenal dengan sebutan “penyakit diploma” (diplomadisease), yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi sosial-ekonomi. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalaulah ranah ini merupakan sasaran tepat yang selalu dijadikan kambing hitam oleh beberapa kalangan akademisi. Hal ini sejalan dengan kesatuan pendapat, bahwa pendidikan merupakan faktor yang urgen dalam menghasilkan warga negara yang baik dan pekerja yang baik. Artinya, pendidikan memainkan peranannya kepada aspek individu yang menginginkan peserta didiknya dapat mencapai cita-cita seperti pendahulunya. Dengan kata lain, pendidikan adalah jenjang mobilitas social-ekonomi masyarakat tertentu. Sebagaimana pendapat yang digulirkan oleh para teoritisi pendidikan, tujuan pendidikan mempunyai dua aliran. Aliran pertama, menitikberatkan kepada pendidikan yang berorentasikan kepada pandangan masyarakatnya, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk system pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Dan aliran yang kedua menekankan kepada individu, yaitu pendidikan yang lebih memfokuskan diri kepada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar.
Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam memajukan pendidikan. Karena kemajuan pendidikan akan menjadi faktor utama penyebab kemajuan peradaban, namun pertanyaannya adalah, pendidikan yang bagaimana, guna memajukan peradaban?


Pendidikan menurut Islam
Dalam pandangan Islam, pendidikan mempunyai peranan sebagai sarana untuk menjadikan manusia yang tertanam dalam jiwanya nilai-nilai Islam, bukan hanya sebatas pengetahuan, dan pada akhirnya menjadikannya manusia yang sekuler. Dengan kata lain, Islam menginginkan bahwa pendidikan merupakan sebagai tujuan untuk menciptakan manusia yang baik. Mengutip pendapat dari Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya Islam and sucalarism, yang perlu ditentukan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga dari kota yang terdapat dalam dirinya, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai suatu yang bersifat spiritual, dan dengan demikian yang ditekankan itu bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi Negara, masyarakat dan dunia. Artinya, pendidikan yang sempurna seharusnya merefleksikan sistem yang ada pada manusia. Karena menurut al-Attas, di dalam diri manusia ini ada sistem yang teratur dan rapi. Ia bagaikan miniatur alam semesta yang sudah tersistem. Kemudian Al-Attas mengambil bentuk universitas sebagai institusi tertinggi yang merefleksikan sistem manusia ini. Menurutnya pula, karena universitas itu universal yang membawahi fakultas-fakultas, maka ia harus menggambarkan manusia yang universal pula, tidak hanya diartikan dengan sebatas kemampuan fisiknya, dan pada akhirnya terbentuknya manusia-manusia yang bebas nilai.
Dalam hal ini al-Attas setuju dengan pendapat Al-Ghazali yang mengatakan bahwa secara spiritual, akal manusia bagaikan seorang menteri yang tulus dan bijaksana. Amarahnya bagaikan seorang polisi, sedangkan hawa nafsunya bagaikan pembantu jahat yang bisa membawa bekal kehidupan untuk seluruh kota. Jika seorang raja dapat memerintah dengan baik sehingga ketulusan dan kebijaksanaan sang menteri bisa dimanfaatkan untuk menjaga sang pembantu dan polisi supaya tetap berada pada tempat dan kerja mereka yang sepatutnya, masalah dan penghuni kota bisa dipenuhi dengan adil. Segala sesuatu akan menggambarkan adanya peraturan dan disiplin. Oleh karena itu manusia harus membuat inteleknya mendominasi elemen-elemen yang lain. Perkembangan kemampuan ini merupakan sebuah aspek penting dalam pendidikan sebagai proses penanaman adab. Inilah sebabnya, bahwa al-Attas mendiskripsikan manusia sebagai miniatur dari sebuah universitas, karena didalamnya terdapat simultan antara fakultas satu dengan lainnya.
Adapun manusia universal atau insan kami menurutnya, yaitu seseorang yang sanggup menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam perilakunya dan betul-betul menghayati kesatuan esensialnya dengan wujud ilahiah tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai seorang hamba dan makhlukNya. Golongan insan kamil ini dipimpin oleh Nabi Muhammad saw, diikuti semua nabi dan para hamba pilihanNya, yaitu para aulia dan ulama yang ilmu dan pemahaman spiritualnya sangat mendalam. Pendapat ini senada dengan Ghozali yang menyatakan, manusia diperintahkan Tuhan untuk meniru sifat-Nya (takhaluq bi akhlaq Allah). Keserupaan di sini yaitu, keserupaan antara Tuhan dan manusia terletak pada kesamaan sifat, seperti keadilan, kebaikan, dan juga kasih sayang. Seperti terdapat dalam firmanNya, ”Allah akan menjadikanmu khalifah di muka bumi” , karena keserupaan ini, Adam layak menjadi wakil Tuhan. Dalam hal keserupaan di sini, al-Ghozali menegaskan, bahwa keserupaan sifat manusia dengan Tuhan bukan berarti menunjukan kesamaan atau penyatuan diri manusia dengan Tuhan.
Menurut al-Attas nilai pada manusia itu, dipengaruhi oleh pandangan Islam bahwa manusia sejati digambarkan oleh sosok Nabi Muhammad SAW. Dan prinsip kesatuan manusia yang integral menurut Islam adalah jiwa yang telah mencapai pengetahuan yang benar mengenai masalah-masalah hakikat. Oleh karena itu, mekanisme kesatuan masyarakat universitas dan pengaturan ilmu pengetahuan sudah tentu tidak didasarkan pada sebuah mitos mengenai persamaan, tetapi didasarkan pada hierarki menurut tingkat pencapain spiritual dan moral serta kemampuan pendidikan. Dan menurut al-Attas juga, dalam universitas Islam elemen yang menyatukan seharusnya ilmu pengetahuan fardu ‘ain, dan metafisika sebagai bagian intinya. Artinya, bahwa ilmu atau pengetahuan (knowledge) tidak boleh terlepas dari kedudukannya, karena ilmu bersumberkan kepada yang haq (absolut) yaitu Allah swt.
Dalam karya selanjutnya, al-Attas menekankan bahwa penekanan terhadap individu bukan hanya sesuatu yang prinsipil, melainkan juga strategi yang jitu pada masa sekarang. Dan selanjutnya mengingatkan:
“Stressing the individual implies…knowledge about intelligence, virtue, and the spirit, and about ultimate destiny and purpose; for intelligence, virtue, and the spirit are elements inherent in the individual…but stressing of society and the state opens the door to secularism and secular ideology and secular, education”.
Arti bebasnya, penekanan terhadap Individu mengimplikasikan…pengetahuan mengenai akal, nilai, jiwa dan maksud yang sebenarnya (dari kehidupan ini) : sebab akal, nilai, dan jiwa adalah unsur-unsur inheren setiap individu..(sedangkan) penekanan terhadap masyarakat dan Negara…membuka pintu menuju sekulerisme, termasuk di dalamnya ideology dan pendidikan sekuler.
Dari pendapat di atas sejatinya dapat ditarik kesimpulan, bahwa untuk membentuk sesuatu yang bersifat makro tidak terlepas dari pengaruh komponen-komponen mikro yang membentuknya. Oleh sebab, itu manusia merupakan komponen yang menjadi syarat dalam pembentukan suatu makro. Dari persoalan yang semacam inilah, seringkali kita terbentur oleh sumber daya manusia yang menjadi kendala utama. Dengan demikian jelaslah, untuk membentuk manusia yang menjadi harapan umat dibutuhkan pendidikan. Sehingga pendidikan sering diposisikan sebagai penanggung jawab atas kompleksitas problem kehidupan, baik itu problem pribadi maupun problem sosial bahkan sampai kepada problem umat. Paradigma ini berangkat dari asumsi bahwa potret dan karekter masyarakat sangat bergantung atau dipengaruhi oleh pendidikan. Itulah sebabnya baik buruk individu dan masyarakat sering dipulangkan pada kualitas pendidikannya. Memang, pendidikan harus mempunyai peran sosial, akan tetapi bukan berarti problem sosial dapat selesai dengan pendidikan. Artinya, meletakkan problem sosial ke pundak pendidikan adalah sikap tidak adil terhadap dunia pendidikan. Dan apabila dipaksakan, maka tidak saja akan gagal dalam menyelesaikan problem sosial itu, tetapi, sudah dapat dipastikan, bahwa dunia pendidikan akan terseret arus persoalan masyarakat yang boleh jadi mengancam dunia pendidikan itu sendiri.
Dalam pandangan Islam dan merujuk pada konsep ta’dib yang ditawarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Menurutnya, kalaulah benar-benar difahami dan dijelaskan dengan baik, maka konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah atupun ta’lim sebagaimana yang dipakai pada masa itu. Dia mengatakan: “Ta’dib alredy includes within its conceptual structure the elements of knowledge (‘ilm), instruction (ta’lim), and good breeding (tarbiyah). So that there is no need to refer to the concept of education in Islam as tarbiyah-ta’lim-ta’dib all together”. Dalam terjemahan bebasnya, struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam tiga serangkai konotasi tarbiyah-ta’lim-ta’dib. Artinya, bahwa selama ini pendidikan dipahami hanya sebatas ta’lim dan tarbiyah. Padahal kedua model pendidikan ini tidak memenuhi pendidikan manusia secara sempurna. Keduanya hanya mengena aspek fisik dan kognitif saja. Padahal pendidikan yang sesungguhnya melebihi itu semua. Pendidikan semestinya menyentuh semua aspek fisik (jasadi), kognitif (fikri), dan spiritual (ruhi), yang hanya di dapat melalui proses ta’dib (Pendidikan Islam).


Kondisi objektif pendidikan Islam Dewasa ini
Di samping perencanaan yang buruk dan cara penanganan yang salah, keadaan yang menimpa dunia pendidikan dewasa ini bersumber dari kekacauan intelektual dan hilangnya identitas kebudayaan yang disebabkan oleh pengaruh program sekulerisasi. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran dan makna ilmu sendiri. Sekularasasi yang melibatkan tiga komponen terpadu, “penolakan unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari politik dan nilai yang tidak mutlak atau relatif” , bukan saja bertentangan dengan fitrah manusia, yang merupakan tasawur (world view) Islam, tetapi juga memutuskan ilmu dari pondasinya dan mengalihkannya dari tujuannya yang hakiki. Dari sini dapat dilihat bahwa kekeliruan ilmu, akibat bercampur aduknya konsep ilmu yang ditawarkan oleh Islam dan Barat. Karena pada dasarnya konsep Barat bukan melahirkan keharmonisan kebaikan dan keadilan, melainkan sebaliknya.
Al-Attas mengungkapkan dengan jitu : ” ilmu yang yang sifatnya telah bermasalah, sebab ia telah kehilangan tujuan hakiki karena tidak dapat dicerna dengan adil. Akibatnya ia membawa kekacauan dalam kehidupan manusia bukannya keharmonisan dan keadilan: ilmu yang nampaknya benar tetapi lebih produkif kearah kekeliruan dan skeptisme, ilmu buat pertama kali dalam sejarah, membawa kekacau balauan pada isi alam semesta: hewan, tumbuhan, dan logam. Ilmu tidak lagi memiliki tujuan yang jelas dan tetap. Artinya kita tidak mengetahui kemana arah tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bahkan tidak bisa dipahami puncak ilmu pengetahuan yang memang demi kepentingan manusia secara universal, lalu demi kepentingan apa ilmu pengetahuan ?
Dalam hal ini, yang mempengaruhi pendidikan untuk memajukan peradaban adalah, arus globalisasi dan berarti westernisasi yang terus menerus digemborkan oleh Barat. Konsep ini sebetulnya merupakan bentuk halus dari kolonialisme, dan di dalamnya terdapat program penyebaran pandangan hidup Barat yang terdiri dari nilai, konsep, sistem, kultur, tradisi, agama, kepercayaan dan lain-lain yang berbentuk kegiatan dan semua itu sudah terframe sesuai dengan Worldview Barat. Artinya Nilai, kultur, tradisi yang lepas dari kepercayaan Transendent, Konsep, dan system yang Positivistik terbatas demi kepentingan Duniawi, Serta Agama dan kepercayaan yang absurb tiada konsep agama itu sendiri yang jelas.
Pemahaman ilmu dan tasawwur Barat ini ditularkan di negara Islam setelah berlangsungnya penjajahan di mana banyak negara Islam yang dijajah oleh Inggris dan Prancis. Sehingga system yang mereka (baca: yang terjajah) berlakukan pun turut mengikuti pandangan Barat. Hal inilah yang mengakibatkan kekeliruan, dan manusia muslim kehilangan Adab. Menanggapi hal di atas, al-Attas berpendapat,” Ilmu hendakalah dipadukan dengan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok Islam, setelah unsur-unsur dan konsep-konsep asing dikeluarkan dari rantingnya. Proses inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi atau pengislaman”. Di mana ilmu kembali dikaitkan dengan konsep agama yang memiliki kepercayaan Transeden. Sehingga ilmu tidak hanya dikembangkan demi kepentingan parsial tapi lebih bersifat universal, sebagaimana agama itu sendiri adalah untuk seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Fenomena ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prisisip-prinsip dasar filsafat pendidikan Islam, yaitu mencari keridoan Allah. Beberapa teoritisi muslim juga banyak yang memperhatikan dan mengkritik hasil-hasil negatif dari tujuan pendidikan yang pragmatis. Abduh, misalnya, menyadari bahwa tujuan pendidikan itu bukan tertuju untuk mobiliasi sosial-ekonomi, melainkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik. Dia mengkritik habis-habisan sisi-sisi pragmatis dari sistem pendidikan Mesir dan menambahkan:
“Pendidikan ini disampaikan (imperted) sehingga murid bisa memperoleh gelar yang memungkinkannya memperoleh pekerjaan sebagai tenaga administrasi dalam sebuah departemen. Namun, hakikat bahwa jiwanya harus dibentuk dengan pendidikan (al-ta’lim wa al-tarbiyah) dan dengan menanamkan nilai-nilai yang luhur sehingga ia menjadi manusia yang saleh (rijalan shalihan fi nafsih), yang dengannya ia bisa mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dalam instansi pemerintahan ataupun dalam instansi lainnya, tidak masuk kepala para guru dan orang-orang yang mengangkat guru-guru tersebut”.
Menurut M Iqbal, tujuan pendidikan adalah ”menciptakan manusia”. Wacana semacam inilah yang tidak banyak disadari oleh masyarakat pada umumnya. Bentuk semacam ini yang diinginkan Barat dan diusung guna menjajah negara-negara kecil sebagai sasarannya. Adapun misi terselubung tersebut berangkat dari sebuah asumsi, bahwa strategi militer tidak lagi banyak memberikan manfaat yang signifikan dalam tindakannya. Hal ini berdasarkan fakta, bahwa strategi militer menghabiskan biaya perang yang begitu besar, baik secara materi maupun imateri..
Selain itu juga, fenomena di atas berdasarkan pada pengalaman pahit yang mereka telan dalam berbagai peperangan yang diciptakannya sendiri. Menanggapi kegagalan-kegagalan tersebut, mereka mempunyai strategi khusus, yaitu dengan menanamkan paham-paham yang bertentangan dengan kultur budaya Islam. Oleh karena itu, kasus yang menimpa umat Islam pada dewasa ini sebenarnya bukan terletak pada ekonomi, politik sosial dan budaya. Karena pada dasarnya kasus-kasus di atas dan yang terkait lainnya apabila dilacak bersumberkan pada pemikiran. Terlebih lagi, pada saat ini umat Islam ada yang menjalankan proses ini, yang pada gilirannya menyentuh ranah pendidikan.


Penanaman Adab Sebagai Faktor Penentu Utama Pembentukan Manusia
Berasumsi pada pernyataan di atas, bahwa hal ini yang sering dilupakan oleh umat muslim. Oleh karenanya tidak heran apabila ada sebuah steatemen umat Islam dewasa ini terlalu disibukkan dengan urusan dunia, yang pada akhirnya akan melalaikan tugas utamanya yaitu sebagai khalifah di muka bumi ini. Berangkat dari pernyataan yang demikianlah yang sehingga menimbulkan kejumudan, fanatisme, taqlid, dan bid’ah khurafat.
Menyikapi wacana semacam ini, sudah barang tentu umat Islam sadar akan bahaya yang mengancamnya, yaitu hal-hal yang telah melalaikan persoalan umat dewasa ini. Persoalannya, hendak dibawa kemanakah umat yang sekarang ini dalam keadaan kritis. Maka untuk itu kita dituntut untuk selalu berpegang teguh dengan kitab suci Al-qur’an dan Hadist Rosuluallah SAW.
Dan tidak ada seorang pun menyangkal bahwa sejak dahulu hingga sekarang, pendidikan menjadi faktor penentu perkembangan manusia demi mencapai peradaban yang maju. Pendidikan juga mempunyai tujuan masing-masing sesuai dengan peradabannya. Barat misalnya, memformulasikan pendidikan sebagai proses penyadaran manusia. Poulo freire mengatakan, “The term ‘Conscientizion’ refers to learning to perceive social, political, and economic contradictions, and take action against the oppressive elements of reality. Arti bebasnya, bahwa pendidikan memainkan proses penyadaran, atau dengan “conscientization”, yang berarti penyadaran untuk mengetahui benturan sosial, politik dan ekonomi, serta untuk bertindak melawan elemen-elemen realitas yang menekan. Dari kesadaran akan realita yang berjalan itu, bisa diambil formula-formula baru dalam rangka menghadapi perkembangan zaman. Ketika cara pandang dilihat dengan kacamata agama maka akan menjadikan formula itu sesuai dengan konsep agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Pada lain sisi, Islam juga mempunyai formulasi tersendiri untuk menerangkan apa tujuan daripada pendidikan yang diharapkan. Dalam konfrensi pertama tingkat dunia tentang pendidikan Islam dikatakan, ‘the aim of Muslim education is the creation of the “ good and righteous man” who worships Allah in true sense of term, builds up the structure of his earthly life according to the Sharia (Islamic Law) and employs it to subserve his faith’. Bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan manusia-manusia yang baik dan soleh yang menyembah Tuhan dengan sebenar-benarnya, membangun struktur kehidupan dunianya sesuai dengan hukum Islam demi terwujudnya Iman.
Dalam istilah al-Attas, proses menjadikan manusia yang baik adalah inculcation of ‘adab’, atau ta’dib. Yaitu proses untuk menjadikan peserta didik mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ini juga menunjukan bahwa semua materi sudah berada pada tempatnya masing-masing dalam pelbagai hierarki wujud, tetapi disebabkan kebodohan dan kesombongannya. Manusia kemudian mengubah tempat-tempat tersebut, sehingga terjadilah ketidakadilan. Maka jangan heran kalau pendidikan mereka tafsirkan dengan hanya sebatas pengetahuan, yang akhirnya terbentuk manusia-manusia yang sekuler.
Islam menginginkan bahwa pendidikan, bertujuan membentuk karakter manusia yang beradab. Dengan adab manusia dapat membedakan antara yang baik dan salah, termasuk membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lainnya. Jika seseorang tidak ditanamkan adab sejak dini, maka akan menjadikannya manusia yang tidak ada ubahnya dengan hewan.
Sehingga tidak heran kalau manusia semacam itu akan berusaha menggugat akan existensi Tuhannya, dan pada akhirnya membentuk individu yang tidak taat akan perintah-NYA. Hal semacam ini juga akan menciptakan para pemimpin yang tidak qualifed dalam tugasnya, diakibatkan oleh tidak adanya penanaman adab pada dirinya.
Wacana yang demikian juga akan memunculkan terbentuknya kinerja pemerintahan yang tidak sesuai dengan tujuan awalnya dan menimbulkan aroma ketidakadilan dalam kehidupan. Hal semacam ini bukan lagi menjadi rahasia umum bagi masyarakat kita, bahwa pemerintah yang tidak sehat akan menimbulkan kekacauan di segala sektor di negaranya.


Krisis Pengetahuan dan Pengaruh Westernisasi Sebagai Sumber Identifikasi
Dengan mengaca pada asumsi di atas, pembaca dapat menyimpulkan bahwa ketidakadilan disebabkan oleh lemahnya adab atau tidak adanya adab. Kemudian apa yang sebenarnya mendasari adab itu sendiri? al-Attas menjawab bahwa itu adalah pengetahuan. Kerena faktor utama yang mendasarinya adalah krisis pengetahuan. Merujuk pada pendapat al-Attas, bahwa dengan demikian dia akan tahu jati dirinya dengan benar, tahu” dari mana ia dan mau kemana kelak”.
Kemudian krisis pengetahuan dalam Islam juga dapat dikatakan akibat oleh pengaruh westernisasi yang ditawarkan Barat kepada Islam. Hal inilah bentuk penjajahan baru yang diusung Barat guna menjajah bangsa atau negara-negara kecil dan negara yang berkembang seperti Indonesia. Sehingga pada akhirnya, mereka dapat menanamkan suatu paham dan kultur budayanya yang seharusnya tidak dapat diterima. Yang ironis lagi yaitu, mereka (baca: yang terjajah) tanpa sadar mengikuti langkah-langkah yang ditawarkan oleh Barat. Sehingga lambat laun, kerangka pikirannya pun ikut terpengaruh, seperti halnya berpikir yang rasionalisme dan empirisme misalnya.
Tawaran pertama, menyuguhkan akan kerangka berfikir yang menyuguhkan akan existensi seseorang dengan senandung certesian ”Cogito Ergo Sum”. Sedangkan kerangka pikir kedua lebih menekankan akan pengalaman sensasional indrawi sebagai sumber pengetahuan. Walhasil, karena tidak sampai menyentuh kebenaran maka umat Islam sekarang dapat goyah dan mudah menemukan perubahan yang tidak menentu.
Lebih dari sekedar dua paham di atas, masyarakat Islam sekarang ini juga menerima saja tawaran-tawaran posmodernisme. Umat Islam sekarang berteman baik dengan Hermeneutika dan dekonstruksi yang hanya menawarkan relatifitas kebenaran. Umat Islam menjadi tidak tenang dengan kebakuan kebenaran yang sudah dilestarikan oleh ulama dahulu. Mereka terlihat tidak menyadari bahwa tawaran-tawaran westernisasi tersebut sudah tidak berhubungan dengan metafisika sehingga mereka menjadi pusing dengan nilai-nilai trensenden, dan jika kebenaran relatif, maka sebenarnya itu hanyalah prasangka yang tidak sedikitpun sampai pada kebenaran.
“dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka saja. Sesungguahnya prasangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran(sesuatu yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa menggantikan sesuatu yamg diperoleh dengan keyakinan). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.


Pengetahuan Sebagai Sumber Adab dan sebagai aktualisasi pendidikan Islam
Dari deskripsi di atas, setidaknya dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta'dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islam, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang dikembangkan B.S.Bloom dkk. Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islam, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan.


Akhir al-kalam
Berbagai uraian di atas telah membukakan jendela cakrawala kita, bahwa penanaman adab adalah tujuan daripada pendidikan Islam. Dengan penanaman adab yang benar, maka akan menciptakan manusia yang pandai menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan berdasarkan pengetahuan yang benar.
Kebenaran pengetahuan tidak terlepas oleh pendidikan. Jika pendidikan itu mengalami kegagalan dalam penanamannya, maka tidak akan luput juga pengetahuan mengalami hal yang serupa. Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri, ini diakibatkan oleh bercampurnya budaya westernisasi dan yang digemborkan oleh Barat. Oleh karenanya, guna menjernihkan pendidikan, Islam dengan mudahnya mengingatkan kepada kita untuk kembali berpegang teguh kepada nash Al-qur’an dan hadits Rosuluallah SAW.
Mudah-mudahan urain singkat mengenai gagasan pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas dapat memberikan sedikit gambaran dan manfaat akan konsep yang ditawarkan. Wallahu alam bisshowab.


Daftar Pustaka
Alqur’anul Karim
Badaruddin, Kemas, Drs, M. Ag, Filsafat Pendidikan Islam (analisis Pemikiran Prof. DR. Syed Naquib al-Attas), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Maret 2007
Fahmy Zarkasyi, Hamid, DR, MA, M.Phil, Foreword, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan kolonialis), Center for Islamic Occidental Studies, ISID-GONTOR, Th, 2007
Islamia, Thn.II No.6/Juli-September 2005
Masataka Takeshita, Insan Kamil: Pandangan Ibnu ‘Arabi, (Surabaya: Risalah Gusti, cet.I Maret 2005)
Muhaimain, Konsepsi Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Ramadhani, Solo, 1991
Muslih, Mohammad, Pendidikan Islam Dalam Kepungan Globalisasi, At-Ta’dib, Jurnal kependidikan Islam, Volume 4 Nomor 1 Gontor Syafar 1429
Naquib al-Attas, Syed Muhammad, Aims and objectives of Islam Education, Hodder and Stoughton King Abdulaziz University, Jeddah
_________________________________, Prolegomena to The Metaphysics of Islam: an Exposition of The Fundamental Elements of The Worlview of Islam, (Kualalumpur : ISTAC, 1995)
________________________________, The Concept of Education in Islam, a Frame work for an philosophy of education,( Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought civilization (ISTAC), 1993)
______________________________, Risalah Untuk Kaum Muslimin, CEII
Paulo Freire. 1972. Pedagogy of The Oppressed, translated by: Myra Bergmean Ramos. Penguin Educations. Great Britain
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Syed M. Naquib al-Attas, penerbit Mizan, Bandung 2003